7 April 2012

Rumah

***
Hari ini sama seperti hari-hari minggu biasanya. Aku dan Fathir memilih menghabiskan hari dikostan saja. Rutinitas dan kesibukan kuliah yang begitu padat membuat kami berada diluar selama enam hari dalam seminggu, jadi saat hari libur begini, kami lebih memilih menghabiskan waktu berduaan, melakukan banyak hal, berbagi cerita, berjam-jam.
Setelah tadi sehabis sarapan aku membiarkan Fathir melanjutkan tidurnya yang tertunda, sekarang kami sedang duduk bersisian di sofa ruang tamu kostan Fathir. Sofa itu menghadap kesebuah televisi yang menyala dan menyiarkan salah satu acara musik yang sedang banyak digemari. Tapi tak satupun mata kami terfokus pada layar televisi.
Aku sedang hanyut dalam novel yang kubaca, dan Fathir dengan permainan football manager di laptop kesayangannya. Aku menyandarkan kepala di dada bidang Fathir dan membiarkan dagunya berada tepat diatas kepalaku. Sesekali Fathir menciumi atas kepalaku dengan penuh sayang, atau hanya sekedar mengelus rambut panjangku. Sementara matanya tetap terfokus pada layar laptop.
“Baca apa sih, sayang?” tanya Fathir disela-sela permainan game nya.
“Novel...” jawabku seadanya tanpa mengalihkan mataku dari deretan kalimat yang sedang ku baca.
Fathir berdecak. “Iya aku tau, aku kan bisa liat. Novel apa maksudku?” tanya Fathir lagi, sebelah tangannya masih sibuk memencet mouse dan tampak asik dalam permainan football managernya itu.
“Ya berarti kamu bisa liat sendiri juga dong judulnya...” aku tertawa geli, menggodanya. Fathir mengacak rambutku gemas.
“Aku udah lama nggak baca novel...” kata Fathir.
Aku dan Fathir memang sama-sama penggemar novel. Kami seringkali ke toko buku berdua, berdebat panjang tentang pilihan buku yang akan kami beli. Biasanya sih kami membeli novel yang berbeda, supaya nanti bisa tukeran pinjem dan saling baca. Lalu setelah sama-sama membaca, kami juga akan berdebat panjang lebar tentang novel yang sudah kami baca itu. Pendapat kami tentang sesuatu memang seringkali berbeda. Kalau Fathir suka, seringkali aku tidak. Begitu juga sebaliknya.
Tapi itulah yang aku suka dari hubungan ini. Selalu ada banyak hal yang bisa kami perdebatkan berjam-jam lamanya. Aku suka setiap kali aku harus berdebat panjang dengan Fathir tentang suatu hal. Kami sama-sama mempertahankan pendapat kami. Dan aku suka memperhatikan cara Fathir membela diri dan berusaha agar pendapatnya lah yang menang.
Fathir egois, nyaris semua teman kami bilang begitu. Fathir jarang sekali mau mengalah. Mungkin, karena dia adalah bungsu dari empat bersaudara, dimana semua kakaknya sudah menikah. Tapi denganku, Fathir selalu mengalah. Meski memang tidak secara langsung. Tapi kalau sudah ada indikasi perdebatan kami menuju pertengkaran, maka Fathir akan mengalah, menyudahi, dan berkata... “Iya, iya... masing-masing orang kan pendapatnya beda, kita nggak bisa maksain juga, sih...”.
Aku tersenyum mengenang tingkah konyol kekasihku itu.
“Nanti... kalo kita udah nikah dan punya rumah sendiri... aku mau rumahnya ada perpustakaannya ya, sayang... Kecil juga nggak pa-pa. Tapi ada tempat khusus buat aku, kamu, dan anak-anak kita menghabiskan waktu untuk membaca...” kataku pelan.
Aku menutup novel yang sedang kubaca dan memeluk Fathir. Mataku ikut menatap layar laptop yang menampilkan football manager yang sedang dimainkan Fathir.
“Pasti, sayang....” jawab Fathir, mengelus rambutku. “Mau yang kamar tidurnya salah satu sisinya terbuat dari kaca juga? Biar sebelum tidur kamu bisa ngeliatin bintang-bintang...” Fathir menambahkan.
“Mau... tapi kan aku penakut, sayang. Kalo satu sisinya dari kaca, terus bisa lihat keadaan diluar dengan bebas, gimana kalo tiba-tiba ada pocong lewat? Aku keliatan dong?” Aku manyun, mendesakkan kepalaku semakin dalam ke dada bidang Fathir.
Fathir tertawa mendengar alasan anehku, tangannya masih sibuk memencet mouse agar game yang dimainkannya tetap berjalan baik.
“Kan ada aku, sayang. Kita kan tidurnya bareng. Aku pasti jagain kamu, kok...” Fathir mempererat pelukannya. Aku merasakan kenyamanan yang aku tau tidak akan rela aku gantikan dengan apapun.
“Kalo kamu lembur, gimana... Atau kamu dinas luar? Ih... kan aku mesti tidur sendirian... Nggak berani, ah....” aku memprotes kecil.
Fathir tertawa lagi. Aku menonjok perutnya.
“Nanti aku bikinin tirai, deh. Jadi kalo kamu mau liat bintang, tirainya tinggal dibuka. Nanti pas kamu udah tidur, aku tutupin tirainya...” kata Fathir. “Kalo pas aku lagi nggak ada dan kamu harus tidur sendirian, tirainya nggak usah dibuka aja... Kamu liat bintangnya kalo pas sama aku aja...” katanya lagi.
Aku tersenyum. Hatiku menghangat. Membayangkannya saja sudah membuat tubuhku bergetar. Akan menjadi malam-malam yang romantis sekali bagi kami pastinya.
“Aku juga mau rumah dengan halaman yang luaaaas....” aku merentangkan tanganku seakan ingin memberi gambaran ‘luas’ pada Fathir. “Yang ada kebun mawarnya, ada ayunan, dan ada meja kayu kecil dengan beberapa kursi. Biar kita bisa menghabiskan sore disana sama anak-anak.”
Aku merasakan Fathir sekali lagi mencium atas kepalaku.
“Terus, aku mau rumahnya ada musholla-nya. Kecil aja nggak pa-pa. Yang penting, ada tempat untuk kita sholat berjamaah. Kamu imamnya, sayang....” aku masih nyerocos mendeskripsikan rumah impianku.
Fathir mendengarkan dengan seksama.
“Oh iya satu lagi, sayang... Aku nggak mau kamar tidurnya pake AC, ya? Aku kan nggak tahan AC... Masa tiap malem mesti sesek nafas...”
Kali ini Fathir tertawa lagi.
“Itu serius, sayang....” aku manyun.
“Kan ada aku, sayang. Nanti aku yang bikin kamu anget...”
“Nggak mau...”
“Ih, kalo nggak pake AC.. aku dong yang susah... nggak bisa tidur...”
“Pokoknya aku nggak mau, sayang...”
“Kamu selimutan aja. Masa selimut tebel plus aku masih bikin kamu sesek gara-gara AC?”
“Bukan dingin badan, sayang. Tapi idung. Kamu kan tau....”
“Iya. Oke, deh...” Fathir memotong ucapanku. “Aku nggak peduli rumah yang bagaimana yang kelak kita tempati. Semua sesuai kemauan kamu juga aku oke aja, sayang...” kata Fathir tenang.
Lihat... dia mulai menghindari perdebatan denganku :)
“Yang paling penting bagiku adalah... rumah itu rumah kita... aku, kamu, dan anak-anak kita kelak. Dan kita tinggal sama-sama disana. Bahagia...” Fathir melanjutkan.
Aku merasakan sudut mataku memanas, buliran bening mendesak keluar dari sana. Aku mempereret pelukanku dan mendesakkan kepala semakin dalam ke dada bidang Fathir. Fathir balas memelukku erat.
“Fathir sayang Aya....” dia berbisik pelan di telingaku.
“Aya juga sayang Fathir...” balasku sama pelannya, buliran bening mulai berjatuhan. Aku memang cengeng. Tapi aku bersyukur tangisan ini adalah tangis haru dan bahagia.
Aku merasakan pelukan Fathir yang semakin mengencang, sementara tangan satunya masih sibuk memencet mouse dan matanya masih terfokus pada layar laptop. Aku tersenyum, menghapus bulir air mata haru yang membasahi pipiku, mendongak dan mencium lembut pipi kekasihku itu.
Fathir selalu tau caranya menenangkan aku. 
Fathir selalu tau caranya membuat aku percaya.
Dan aku beruntung punya dia. 


*** another story of Fathir - Soraya #draft

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Blog Design ByWulansari