18 Agustus 2018

[blogtour] Overtime - Exclusive First Chapter | Part 2

Baca dulu Exclusive First Chapter yang Part 1 nya ya...
.
.
.

DIONDRA merapikan rok sepan hitamnya. Tapi, baru sedetik dia mera- sa penampilannya sudah sempurna, langkahnya tiba-tiba limbung, dan dia nyaris saja terjatuh.

Ternyata hak sepatunya patah. Bagus!

Diondra melirik ke sekeliling teras Hotel Nevenka, tempatnya ber- ada saat ini, tapi tidak menemukan bangku satu pun. Tertatih-tatih, dia pun bergeser hingga ke pinggir, sehingga tidak menghalangi lalu-lalang orang-orang yang keluar-masuk hotel.
  
Diperiksanya hak sepatunya yang patah, dan ternyata hak sepatu- nya itu memang sudah tidak bisa terselamatkan. Kalau dia tidak mau berjalan timpang, mau tidak mau dia harus mematahkan hak sepatunya yang sebelah lagi. Meski sayang, dia tetap mencoba untuk melakukannya.

Tentu, kalau mau sengaja dipatahkan, hak sepatu itu malah menunjukkan ketangguhannya, dengan menolak untuk dipisahkan dari badan- nya. Diondra menariknya dengan sekuat tenaga, lalu memukul-mukul- kannya ke lantai. Tapi hak sepatu itu tetap  menempel erat  dengan badannya, seolah meledek Diondra yang sampai mengerang dengan su- ara aneh. Dan ternyata suara erangannya menarik perhatian seseorang, yang tiba-tiba sudah berdiri di hadapannya.

“You sound like you’re having sex,” komentar orang itu, yang kontan membuat Diondra berhenti mengerang. Dia mendongak, dan melihat seorang laki-laki terseksi yang pernah dilihatnya selama dua puluh tujuh tahun hidupnya. Laki-laki itu memiliki mata setajam elang, dengan rambut lurus dan rahang tegas. Sebuah anting hitam menghiasi telinga kiri- nya. Dia menyeringai melihat Diondra yang terbengong-bengong, dan merebut sepatu yang haknya dicoba dipatahkan itu. Otot biseps di balik kaus putih yang dikenakannya sampai mengencang ketika dengan sekuat tenaga laki-laki itu mematahkan hak sepatu itu, dengan suara seperti tulang yang dipatahkan. Usai memisahkan hak sepatu itu dari badannya, diserahkannya keduanya pada Diondra, yang hanya menerimanya tanpa berkata apa-apa. Belum sempat Diondra mengucapkan terima kasih, karena dia masih terpesona pada laki-laki itu, laki-laki itu sudah keburu pergi dari hadapannya. Diondra memperhatikannya, dan melihatnya berjalan menuju  Porsche Boxster merah  yang diparkir  di pelataran parkir VIP, di seberang teras hotel. Laki-laki itu memasuki mobil itu, menyalakan mesinnya, dan meraung pergi dari pelataran parkir hotel.

Seksi, kuat, kaya. Diondra merasa dia akan pingsan.

Tapi dia tidak boleh pingsan. Hari ini adalah hari yang penting bagi- nya, di mana dia akan diwawancara oleh direktur hotel ini, untuk men- jadi asisten pribadinya. Dia sudah lolos wawancara dengan HR manager, lalu dengan asisten pribadi direktur yang akan digantikannya. Jadi, kini tinggal direktur itu sendiri. Kalau direktur itu menerimanya, maka ini akan menjadi pengalaman bekerja keduanya setelah lulus kuliah.

Sesungguhnya, Diondra tidak menyangka akan lolos sampai sejauh ini. Dia memang sudah memiliki pengalaman bekerja, tapi itu sebagai purchasing staff, yang tentunya sangat berbeda dengan pekerjaan yang dilamarnya ini. Jadi bisa dibilang dia hanya mengandalkan keberuntung- an kali ini. Dan ternyata dia memang beruntung—hampir. Masih ada satu langkah lagi sebelum keberuntungannya menjadi benar-benar nyata.

Sembari memasukkan dua hak sepatunya yang patah ke tasnya— mungkin dia masih bisa menyelamatkannya nanti, dengan mengelem- nya atau apa; dia tidak ingin membuang-buang uang dengan membeli sepatu baru—Diondra mulai berjalan memasuki hotel. Sesuai dengan pe- tunjuk Lori—asisten pribadi direktur yang akan digantikannya itu—dia menunggu di salah satu sofa emas yang ada di lobi. Dia sengaja datang lebih pagi untuk wawancara ini. Syukurlah, mengingat insiden patahnya hak sepatunya itu.

Lobi hotel itu luas dan sangat mewah. Selain sofa-sofa emas beserta meja kopi yang terletak di posisi-posisi tertentu, ada sebuah tangga elips di tengah-tengah  lobi, dengan pegangan tangga emas. Kandil-kandil kristal juga tergantung di posisi-posisi tertentu, dan lantainya berlapis karpet emas dengan motif naga.
Kurang tidur dan harus bangun pagi-pagi, ditambah suasana lobi yang nyaman dan sejuk, membuat Diondra menyerah terhadap kantuk. Dia tadinya hanya ingin memejamkan mata barang semenit saja, tapi ketika dia membuka matanya lagi, ternyata empat puluh lima menit telah berlalu, dan Lori sudah berdiri di hadapannya. Lori yang membangunkannya.

“Ngantuk, Di?” goda Lori.

Diondra kontan panik. “Maaf, maaf, maaf,” cetusnya.

“S-saya nggak sengaja ketiduran.”

Lori mengibaskan tangannya. “Santai saja, Di,” katanya menenang- kan. “Saya juga mungkin akan ketiduran kalau disuruh menunggu di lobi ini. Eh, tunggu. Saya memang pernah ketiduran di lobi ini.”
Diondra memaksakan tawa, meski masih merasa panik. Dia memang begitu bodoh, sampai ketiduran begitu. Untung saja Lori bersikap santai.

Lori memimpin Diondra berjalan ke arah lift, dan naik ke lantai tiga. Mereka lalu melintasi sebuah koridor yang berakhir di sebuah ru- angan yang disekat kaca. Ada sebuah meja kerja di balik kaca itu, yang sepertinya adalah meja Lori. Di seberangnya, ada sebuah ruang tunggu, yang hanya terdiri dari satu sofa hitam dan meja kopi. Tidak jauh dari meja kerja Lori dan ruang tunggu itu, ada sebuah pintu kayu besar. Lori mengetuknya, dan setelah dipersilakan masuk, dia membawa serta Diondra bersamanya.

Diondra terpana melihat calon bosnya, yang sedang duduk di ba- lik meja kerjanya. Laki-laki, masih muda, dan... ya Tuhan... amat seksi. Tidak cukupkah laki-laki seksi/kuat/kaya di bawah tadi, sehingga calon bos Diondra pun harus seseksi itu?

Tidak bisa tidak, Diondra pun teringat  pada Yuda—senior yang menjadi pacar pertama, sekaligus pacar satu-satunya, saat dia kuliah. Wajah Tyler sedikit mirip dengan Yuda, dengan mata jernih, alis lebat, dan hidung mancung. Mungkin karena itu detak jantung Diondra men- jadi tidak beraturan sekarang.

Nama “TYLER NASH” tertulis di plakat yang ada di atas meja ker- ja calon bos Diondra itu, di atas tulisan “DIREKTUR”. Dia berdiri ketika Diondra dan Lori masuk, dan menyalami Diondra, sambil tersenyum ramah. Sentuhan tangannya, dan senyumannya, berhasil membuat Diondra lupa caranya bernapas.

“Silakan duduk,” kata Tyler pada Diondra, dan Diondra pun me- nurutinya. Dia sendiri pada akhirnya juga kembali duduk.

Lori memberikan sebuah map pada Tyler. Lalu, setelah memberi- kan Diondra semangat lewat senyumannya, dia duduk di salah satu sofa yang ada di belakang kanan Diondra.

“Jadi, Diondra Wilda,” mulai Tyler, membaca nama Diondra di do- kumen yang ada di dalam map itu, yang merupakan CV Diondra. “Itu nama kamu, kan?”

“Benar, Pak.”

“Saya nggak akan mengajukan banyak pertanyaan, karena saya ya- kin kamu sudah cukup mendapatkannya dari Bu Kanaya dan Lori,” kata Tyler. Bu Kanaya, seingat Diondra, adalah nama sang HR manager.

“Tapi beri tahu saya, kenapa kamu tertarik menjadi asisten pribadi saya?”

“Karena menjadi asisten pribadi adalah hal yang baru untuk saya, dan saya selalu menyukai hal-hal baru, yang bisa saya jadikan pengalam- an hidup saya. Tapi meskipun itu adalah hal yang baru, saya akan tetap bisa menguasai pekerjaan saya dengan cepat.”

“Oh, jadi kamu bukan tertarik karena gajinya yang besar?”

Perlu waktu beberapa saat bagi Diondra untuk menyadari kalau Tyler hanya sedang menggodanya. Dia langsung tertawa kikuk, setelah sebelumnya sempat menganggap serius pertanyaan Tyler.

“Y-yah... itu salah satunya,” aku Diondra.

Tyler kembali serius. “Di CV kamu, tertulis kalau kamu sudah be- kerja sebagai purchasing staff selama empat tahun,” katanya. “Apa yang membuat kamu akhirnya berhenti? Apa perusahaan lama kamu nggak memuaskan?”

Sebenarnya, ya, tapi Diondra malah berkata, “Bukan, bukan seperti itu. Saya hanya ingin mencari pengalaman baru.”

Tyler mengangguk-angguk. “Oke, kalau begitu pertanyaan  tera- khir,” katanya, membuktikan kata-katanya kalau dia memang tidak akan mengajukan banyak pertanyaan. “Apa kamu punya pacar?”

Diondra langsung terbengong-bengong mendengar pertanyaan itu. Apa memang wajar Tyler bertanya seperti itu?

“Jangan berpikir yang macam-macam,” kata Tyler, karena Dion- dra lama hanya terdiam. “Kalau memang ya, saya hanya ingin tahu apa kamu berniat untuk menikah dalam waktu dekat, karena saya nggak ingin ada laki-laki yang merebut kamu dari saya.”

Lori tiba-tiba tertawa, membuat Diondra mencurigai kalau kata- kata Tyler itu ada hubungannya dengan perempuan itu. Dan sepertinya memang ada, dilihat dari kata-kata yang diucapkan Lori untuk menim- pali kata-kata Tyler.

“Nggak semua wanita yang akan menikah akan berhenti dari pekerjaannya.”

“Dan seharusnya kamu pun begitu,” kata Tyler. Dia lalu berpaling kembali pada Diondra. “Saya hanya nggak suka bergonta-ganti asisten, karena itu akan terlalu merepotkan. Jadi kalau kamu memang mau be- kerja sebagai asisten pribadi saya, saya harap kamu akan benar-benar berkomitmen. Jangan baru bekerja satu tahun, lalu kamu berhenti.”

Diondra mengangguk mantap. “Saya akan benar-benar berkomitmen.”

“Jadi, kamu siap bekerja mulai Senin depan?”

Mata Diondra membesar. “Maksud Bapak, saya diterima?” “Kecuali kamu nggak mau diterima,” tanggap Tyler enteng.

“Tentu saja saya mau diterima,” sergah Diondra buru-buru. “Dan saya siap untuk bekerja mulai Senin depan.”

“Bagus. Kalau bisa, Jumat ini kamu datang dulu ke sini, supaya Lori bisa mengajari kamu apa-apa saja yang perlu kamu lakukan sebagai asisten pribadi saya. Nggak sulit, sebenarnya, jadi kamu pasti akan bisa menguasainya dengan mudah.”

“Saya akan datang Jumat  ini,” kata Diondra. “Terima kasih, Pak. Terima kasih banyak.”

“Sama-sama, Diondra,” balas Tyler. “Selamat bergabung di Hotel Nevenka.”

Diondra keluar dari ruang kerja Tyler dengan perasaan senang luar biasa. Lori, yang mengantarnya kembali ke bawah, sampai bisa mengetahuinya, hanya dengan melihat ekspresi wajahnya.

“Kamu terlihat seperti ingin terbang,” goda Lori. “Tapi selamat ya, Di. Kamu sudah mendapatkan bos terbaik yang mungkin kamu miliki.”

“Terima kasih. Tyler sepertinya memang baik.”

“Terbaik. Kamu nggak akan bisa menemukan bos seperti dia di tempat lain.”

Mereka turun dengan lift, dan kembali ke lantai dasar. Sepanjang berada di dalam lift dan melintasi lobi, mereka terus bercakap-cakap.

“Pekerjaan kamu, seperti yang dibilang Tyler tadi, memang nggak sulit,” kata Lori. “Kamu hanya akan mengurus jadwal-jadwalnya, doku- men-dokumen yang perlu ditandatanganinya, mengangkat telepon-tele- ponnya, dan hal-hal remeh lainnya. Untuk detailnya, akan saya kasih tahu kamu Jumat nanti.”

“Saya perlu datang jam berapa Jumat nanti?”

“Sebelum jam makan siang, kalau bisa. Kamu telepon saya saja ka- lau kamu sudah sampai sini. Kamu ada nomor HP saya, kan?”

Diondra mengangguk. “Saya akan datang sekitar jam sembilan.” Mereka telah tiba di dekat pintu utama hotel. Diondra sudah akan berpamitan, tapi Lori menahannya.

“Tentang pekerjaan kamu itu, sebenarnya ada satu  lagi. Kamu mungkin asisten pribadi Tyler. Tapi, sesekali, kamu harus berhubungan sama adiknya juga.”

“Adiknya?” ulang Diondra, tidak tahu kalau Tyler punya adik. Lebih jauh lagi, dia memang tidak tahu apa-apa tentang laki-laki itu.

Lori mengangguk. “Namanya Christopher Nash,” katanya. “Dia wakil direktur di sini, andai saja dia lebih sering bekerja.” Subkalimatnya diucapkan dengan setengah berbisik, seolah tidak ingin orang lain selain Diondra mendengarnya. Tapi di kalimatnya selanjutnya, suaranya nor- mal kembali. “Dia nggak memiliki asisten pribadi—dulu ada, tapi tiga gadis yang menjadi asisten pribadinya selalu berhenti setelah sebulan kerja. Jadi, sesekali Tyler pasti akan menyuruh kamu untuk mengurus jadwal-jadwalnya juga.”

“Apa Christopher itu orang yang sulit?” tanya Diondra penasaran. “Mmm... gimana, ya?” Lori malah bertanya-tanya sendiri. “Dia juga baik, sebenarnya, tapi sedikit lebih... rumit, dibanding Tyler.”

“Rumit gimana?” desak Diondra, merasa ingin tahu lebih banyak tentang bosnya yang satu lagi.

Lori menggaruk-garuk  kepalanya, merasa  kebingungan sendiri. “Intinya, kamu hati-hati saja kalau berurusan sama dia,” katanya, masih tidak jelas. “Apalagi kamu cantik begini, jadi dia pasti nggak akan mele- watkan kamu.”

Diondra malah merasa ngeri begitu mendengar kata-kata Lori, seolah Christopher Nash itu adalah pemangsa dan dia adalah calon korbannya.

Eh, tapi mungkin saja begitu.

“Tyler dan Christopher nggak akur,” kata Lori. “Jadi akan cukup sulit bekerja untuk keduanya sekaligus.”

  “Masalah keluarga?” tebak Diondra.

“Salah satunya. Tapi kedua laki-laki itu sepertinya memang nggak dilahirkan untuk bisa akur. Sepanjang yang saya tahu, sudah dari kecil mereka begitu.”

“Oh,” kata Diondra. Dia sebenarnya masih penasaran dengan masa- lah antara kedua bosnya, tapi dia tidak bisa bertanya-tanya lagi, karena Lori harus segera kembali ke atas. Jadi setelah saling berpamitan, mere- ka pun berpisah.

[Blogtour] Overtime - Exclusive First Chapter | Part 1


TERBANGUN dengan gadis yang berbeda di ranjangnya hampir setiap paginya adalah hal yang biasa bagi Christopher. Tapi, apa dia bisa meng- ingat nama mereka? Itu masalahnya.

Seperti pagi ini. Terbaring dengan mata tertutup rapat, mulut yang sedikit terbuka, dan rambut keriting yang acak-acakan, adalah seorang gadis yang sepanjang malam menemani Christopher; dari mereka ber- temu di sebuah pub yang biasa didatangi Christopher, sampai kemudian mereka mengalami malam yang dahsyat di ranjangnya. Dengan malam sedahsyat itu, nama gadis itu tetap melayang ke luar dari otaknya. Tapi dia yakin sekali, kalau nama gadis itu ada hubungannya dengan bunga.

Rose? Violet? Lily?

Ah, masa bodohlah! Tidak penting siapa nama mereka. Mereka ha- nyalah gadis-gadis tak bernama yang datang dan pergi begitu saja dalam hidupnya, tanpa arti. Dia tidak akan merasa kehilangan, hatinya sudah telanjur dingin.

Hampa.

Christopher bangkit dari tempat tidurnya. Perempuan itu memang mampu mengusir rasa sepi yang ada di dalam dadanya. Namun hanya untuk sesaat. Jika diibaratkan, meski dia berdiri di tengah-tengah Shibu- ya Crossing, dengan ribuan orang yang berlalu-lalang di sekitarnya, dia tetap tidak akan bisa mengenyahkan rasa kesepian itu.

Sekarang, apa yang menyebabkannya terbangun tadi? Ah ya, den- ting ponselnya, yang menandakan ada SMS masuk. Dia pun mengambil ponselnya dari atas nakas.

Hi, Chris. It’s Jennifer. I’m back in Jakarta. Can we meet this afternoon? Let’s say, 1 p.m. at Starbucks, GI?

Mata Christopher langsung memelotot. Jennifer? As in Jennifer Ar- letta? Sahabatnya sejak SMA, yang dicintainya sekian lama, tapi kemu- dian memutuskan untuk bertunangan dengan kakaknya—hanya untuk melarikan diri ke New York pada hari pernikahan mereka setahun yang lalu? That Jennifer?

Segala macam perasaan berkecamuk dalam diri Christopher—rindu, cemas, benci, semuanya membaur menjadi satu. Tadinya dia berpikir, dengan menghilangnya Jennifer ke New York, maka hidupnya akhirnya akan tenang. Tapi apa yang Jennifer lakukan? Kembali ke Jakarta? Dan kenapa dia meminta untuk bertemu dengan Christopher?

Christopher tahu, seharusnya dia mengabaikan SMS Jennifer. Tidak ada gunanya menyiksa diri dengan menemui gadis itu. Tapi akhirnya malah rasa penasarannya yang menang.

Meski masih memiliki waktu empat jam sebelum pertemuannya dengan Jennifer, tapi dia tetap bangun dari ranjangnya—dengan perlahan-lahan, agar tidak membangunkan si gadis dari pub yang tidak bisa dia ingat namanya itu—dan berjingkat-jingkat  ke kamar mandi.

Setelah mandi kilat, Christopher menghabiskan waktu sejenak di wastafel, untuk menggosok gigi, dan merapikan rambut. Rambutnya lurus dan mudah diatur, sehingga biasanya dia hanya menyisirnya de- ngan tangan. Tapi kali ini digunakannya sisirnya. Dia menyentuhkan tangannya sejenak ke anting hitam di telinga kirinya, hanya karena kebiasaan, dan kemudian keluar dari kamar mandi.

Gadis dari pub itu sudah bangun, dan Christopher sedikit terlonjak melihatnya, seolah dia sedang tertangkap basah akan kabur. Tapi tadi- nya dia memang berniat akan kabur, sehingga gadis itu tidak bisa me- ngonfrontasinya, meminta penjelasan atas apa yang terjadi tadi malam. Bagi Christopher, gadis itu hanyalah teman tidur, tapi bagaimana kalau gadis itu berpikir yang lebih jauh?

“Kamu mau pergi?” tanya gadis dari pub itu, menatap Christopher yang sudah rapi kembali.

Christopher mengangguk. “Ada janji.”

Padahal Christopher bisa saja menghabiskan waktu dulu dengan ga- dis dari pub itu sebelum menemui Jennifer. Tapi tidak. Lebih baik dia menghabiskan waktu di luar saja, daripada terjebak dalam konfrontasi dengan gadis itu.

“Kamu bisa pulang sendiri, kan?” tanya Christopher.

“Saya belum berniat pulang,” kata gadis itu, sembari mengulet, tam- paknya berhasrat untuk kembali tidur.

Merasa kalau memang lebih baik gadis itu kembali tidur, Christo- pher membiarkannya. Dia mengambil ponsel dan jam tangannya dari atas nakas—menyimpan ponselnya di saku celana jin hitamnya, dan me- makai jam tangannya di tangan kirinya. Tidak ingin meninggalkan gadis itu begitu saja, dia naik ke ranjangnya untuk memberi gadis itu ciuman selamat tinggal.

“See you, Babe,” bisik Christopher di telinga gadis itu, setelah mele- pas ciuman mereka, meski dia tidak yakin ingin bertemu gadis itu lagi.

Bukannya menanggapi Christopher yang sedang berpamitan, gadis itu malah bertanya, “Kamu nggak ingat nama saya, ya?”

Christopher kontan terkejut, karena pertanyaan gadis itu begitu te- pat sasaran. “Kenapa kamu bisa menyangka begitu?” dia balik bertanya, berusaha menyembunyikan keterkejutannya.

“Karena sepertinya kamu menghindar untuk menyebut nama saya.”

“Jangan konyol. Tentu saya ingat nama kamu.”

“Siapa?” tantang gadis itu.

Sialan, siapa nama gadis ini? Apa benar ada hubungannya dengan bunga? Tapi masa dia harus menebak dari antara Rose, Violet, atau Lily? “Merry,” kata gadis itu tiba-tiba, dengan sedikit mencebik, karena Christopher lama hanya terdiam.

Christopher mengerjap. “Apa?”

“Merry,” ulang gadis itu. “Itu nama saya.”

Rose/Violet/Lily nenek moyangnya! Nama gadis itu bahkan tidak ada hubungannya dengan bunga.

“Ya, tentu saja Merry,” kata Christopher, seolah dia memang meng- ingat nama gadis itu. “Saya hanya bingung gimana cara mengeja nama kamu tadi—m-a-r-y atau m-e-r-r-y.”

Gadis yang ternyata bernama Merry itu hanya mengangkat alisnya, jelas tidak percaya. Merasa kalau situasinya tidak lagi kondusif, Christo- pher pun hanya memberi Merry ciuman sekali lagi, dan segera angkat kaki dari kamarnya.

Turun dua puluh lantai melalui lift, Christopher menuju ke lantai dasar. Dia memang membawa Merry ke penthouse hotel milik keluarganya tadi malam, seperti yang juga selalu dilakukannya pada gadis-gadis lain yang ingin diajaknya bercinta. Dia tidak ingin membawa mereka ke apartemennya, untuk mencegah mereka tahu tempat tinggalnya. Akan merepotkan kalau mereka terus datang karena tidak ingin berpisah de- ngannya.

Begitu dia melintasi lobi, dia berpapasan dengan dua orang—yang salah satunya adalah orang yang paling tidak ingin dilihatnya.

Kakaknya.

***

Tyler menatap adiknya dengan mata disipitkan. Di sebelahnya, Lori—asisten  pribadinya—hanya berdiri  dengan  raut  tegang, seperti yang biasa terjadi apabila kebetulan dia harus menyaksikan pertemuan kakak-beradik itu.

Lori memiliki alasan untuk merasa tegang. Tyler memang tidak akrab dengan adiknya, dan pertemuan mereka juga tidak pernah ber- jalan mulus. Mereka selalu saja ribut, meski sebagian besar disebabkan oleh adiknya.

Christopher membenci Tyler, dan Tyler tahu jelas kenapa. Tapi dia juga tidak pernah berusaha membuat Christopher menyukainya. Kalau Christopher memang mau membencinya, ya sudah, itu kerugiannya.

“Lo nggak kerja lagi hari ini?” tanya Tyler pada Christopher, karena melihat adiknya hanya mengenakan kaus putih dan celana jin hitam. Berkebalikan sekali dengannya, yang mengenakan kemeja putih dilapisi jas hitam, lengkap dengan dasi hitam, dan celana bahan hitam.

Christopher hanya mendengus sebagai jawabannya. Seakan tidak mau berlama-lama berdiri di depan kakaknya, dia langsung melanjutkan langkahnya melintasi lobi.

Tyler menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah adiknya. En- tah sampai kapan Christopher akan bersikap kekanak-kanakan begitu.

“Dia tidur di penthouse lagi?” tanya Tyler pada Lori.

Lori mengangguk. “Sudah beberapa hari ini dia tidur di sana,” ka- tanya. “Dan dia selalu bawa gadis yang berbeda tiap malamnya.”

Tyler mendesah. “Nggak mau kerja, dan malah main perempuan begitu,” gumamnya. “Pak Denny akan melahapnya habis-habisan, ka- lau sampai dia tahu.” Yang disebutnya itu adalah nama general manager Hotel Nevenka.

“Saya akan usahakan supaya Pak Denny nggak tahu,” kata Lori, memasang tampang bersekongkol.

Mereka akhirnya melanjutkan langkah mereka melintasi lobi ber- jalan ke arah lift, dan naik ke lantai tiga. Ruang kerja Tyler berada di lantai itu.

Ruang kerja Tyler sangat luas, dengan meja logam besar yang ter- letak membelakangi kaca, dan sebuah rak buku di sebelah kirinya. Di seberang kirinya, terdapat ruang rapat kecil, yang hanya terdiri dari em- pat sofa hitam dan meja kopi. Sedangkan di seberang kanannya, terda- pat rak logam, di mana beberapa pigura foto yang salah satunya berisi kover majalah TIME yang menampilkan dirinya, sedangkan sisanya berisi foto-fotonya dengan berbagai tokoh terkemuka, serta beberapa pajangan keramik, berada.

Tyler duduk di kursinya, sementara Lori hanya berdiri di depan me- janya, bersiap membacakan jadwal Tyler untuk hari ini.

“Jam sepuluh, kamu harus mewawancarai calon pengganti saya,”
mulai Lori, membuat Tyler langsung mengerang.

“Kamu harusnya  nggak mengingatkan saya,” keluh Tyler. “Saya sedang berusaha melupakan fakta bahwa kamu akan segera pergi dari saya.”

Lori tertawa. “Kamu akan mendapatkan yang lebih baik dari saya.” “Saya nggak yakin,” gerutu Tyler.

“Kenapa Hendrik harus merebut kamu dari saya?”
Tawa Lori berlanjut. “Karena dia akan menikahi saya,” katanya.

“Dia nggak ingin saya bekerja.”

“Memangnya kenapa kalau wanita bekerja?”

Lori mengangkat bahu. “Dia hanya ingin saya fokus mengurus ru- mah kami nanti,” katanya. “Dan, tentu saja, anak kami nanti.”

“Well, saya nggak bisa berkomentar lagi kalau soal itu,” kata Tyler. “Tapi, Lori.” Wajahnya berubah serius. “Saya benar-benar mendoakan kebahagiaan kamu.”

Wajah Lori langsung berseri-seri. “Thanks, Ty,” katanya. “Jangan lupa ya datang ke pernikahan kami nanti.”

“Absolutely.”

Lori lalu kembali membacakan jadwal Tyler. “Jam dua belas, kamu ada lunch meeting dengan Pak Denny,” lanjutnya. “Lalu jam dua, kamu ada meeting dengan divisi sales & marketing, dilanjutkan meeting de- ngan divisi food & beverage.  Dokumen-dokumen yang harus kamu tanda tangani ada di meja saya, akan saya susun dulu sebelum saya kasih ke kamu.”

Tyler mengurut-urut  pelipisnya, merasa lelah bahkan hanya de- ngan mendengar daftar rapat yang harus dihadirinya. “Oke,” desahnya. “Kamu kembali saja ke mejamu.”

Lori pun pamit, meninggalkan Tyler seorang diri di ruangannya. Dengan Lori yang begitu cekatan menjadi asisten pribadinya, Tyler ber- harap calon penggantinya pun sama cekatannya.


**To be continued on the next post... Tomorrow!!

17 Agustus 2018

Unsent Letters a Review

Identitas Buku
Judul : Unsent Letters
Penulis : Elcessa
Penerbit : Grasindo
Tahun terbit : 2017
Jumlah Halaman : 389+++

***
Blurb

Tentang Kejora -- yang rasa sedihnya ia tumpahkan dalam puluhan lembar surat. Tiap kata yang memenuhi lembarnya setara doa, harapan, dan rintihan yang terus meminta agar waktu dapat diputar ulang.

Tentang Raffa -- dan rasa sesal yang memenuhi benaknya tanpa petnah berani ia keluarkan. Kata pisah terus membayangi di ingatannya meski waktu telah berlalu, bersama imaji seorang gadis mungil yang menyandang nama bintang paling terang. Bintang yang jaraknya dua langkah dari sang mentari.

Tentang mereka -- dan sebuah kisah yang mengalir dalam tumpukan surat. Surat-surat yang akan menguning, menjadi saksi bish hal-hal yang pernah mereka bagi. Mungkinkah surat itu menjadi jalan bagi mereka untuk kembali menemukan?

***
Review

Novel ini menarik minat gue karena judulnya yang bikin penasaran. Sesuatu yang tak terucap, tak tersampaikan, tak terkirim dan tak-tak-tak lainnya memang selalu berhasil bikin gue penasaran. Karena menurut gue, sesuatu yang tak tersampaikan atau terucap atau terikirim atau tak tak tak lainnya itu, pasti memiliki alasan berattttt sekali. Dan gue ingin tau, alasan berat apa sih yang bikin surat-surat dalam novel ini menjadi tak terkirim.

Gue udah ga sabar pengen baca sejak paket buku ini sampe kerumah, tapi sayangnya harus gue tahan karena saat itu gue masih menyelesaikan buku lainnya.

Buku ini selesai gue baca dalam sekali duduk. Benar-benar sekali duduk karena gue buka sampul plastiknya pas baru sampe kantor dan ga ada kerjaan, terus selesai baca seharian itu. Bener-bener ga ada jeda bahkan sambil makan aja gue baca loh. Iya, sepenasaran itu. Karena, as I said before, gue bener-bener ingin tau alasan berat apa sih yang bikin surat-surat ini menjadi tak terkirim.

Cara baru bercerita gue dapatkan dari novel ini. Setiap bab diawali dengan surat, lalu dilanjutkan dengan nostalgia cerita memori dimasa lalu. Seperti sedang mendengarkan seseorang bercerita tentang masa lalunya yang sangat pedih. Dan penulis berhasil bawa gue hanyut dalam tulisannya dan bikin gue baper ga kelar-kelar. Ini nih kenapa gue gak pernah suka baca buku sedih yang berujung ga happy ending. Karena gue ini anaknya baperan, dan kalo baca buku sedih tu kebawa suasananya berhari-hari. Hikkksssss....

Mengejutkan, karena setelah baca 'tentang penulis' nya, gue mendapati Elsa ini kelahiran 98.. Buset yaa.. Jauh banget lebih muda dari gue tapi bok tulisannya daleeeeemmm banget. Penokohan yang kuat bikin gue bener-bener menyatu dengan cerita.

Biasanya, gue sering skip baca untuk narasi yang terlalu panjang. Ntah kenapa tapi gue emang males aja. Tapi buku ini dialognya dikit, banyakan narasi. Dan gue suka. Gue baca semua kata per kata, dan gue salin beberapa kalimat manis yang mengena dihati gue.

Some things are better left unsaid itu memang ga selalu benar. Seperti cerita didalam buku ini. Semuanya akan menjadi jelas, dan mungkin akan berakhir bahagia, kalo satu sama lain saling terbuka dan ga hanyut dalam pikiran masing-masing. Tapi gue betelah dengan sikap Raffa yang begitu banget, dan Kejora yang begitu banget juga. Begitu gimana sih, Dheaaa? Hahahaa. Ya gitu kayak dalem buku ini :p

Berikut beberapa kalimat manis yang sempat gue kutip :

Meski aku ribuan kilometer jauhnya dari kamu, dengan magisnya bayang-bayangmu masih menghantuiku (halaman 18)

Apa-apa yang ditulis akan abadi, sedang apa yang diucap akan hilang dalam sekejap (halaman 36)

Karena apa-apa yang sudah tidak kokoh, tidak layak untuk dipertahankan. (Halaman 53)

Karena meski semua yang kita punya terasa sangat manis dan indah, jauh didalam hati, aku tahu kalau hal itu tidak akan berjalan selamanya.

Bagian terburuk dari kisahku bukanlah perpisahan kita, melainkan kenyataan bahwa setelah semua yang kita lewati bersama kamu baik-baik saja tanpa aku, sementara aku sendiri disini menahan rindu. Kamu bahkan tak peduli. (Halaman 213)

Jangan pernah takut kehilangan, karena semua yang hilang pasti akan menemukan jalannya untuk kembali kalau itu memang ditakdirkan buat lo (halaman 305)

Kita memang tidak bisa memutar balikkan waktu, sehingga apa yang kita punya ini murni tinggal kenangan (halaman 360)

Gimana? Baper kan. Padahal itu cuma potongan kalimat. Nah lo bayangin sendiri aja gimana gue baca 389++ halaman dengan kalimat-kalimat sendu semacam itu. Apa gak macam disilet-silet hati gue saking ikutan perihnya.. Hikss..

Tapi, satu bab di akhir bikin gue pengen proted ama judul buku ini. Hahaha. Gue kirain suratnya emang beneran tak terkirim. Ternyata pada akhirnya surat-surat tsb sampe juga ke tangan si tertuju, meski bukan dengan cara yang sebenarnya. dan si tertuju juga baca semua surat-surat tersebut. Sampe disini penasaran gue terjawab, alasan Kejora tidak ingin mengirimkan surat-surat itu adalah karena dia tidak ingin apa yang melukainya dimasa lalu kembali melukainya dimasa depan. Apalagi kan dia udah punya kehidupan baru. Tapi gue bersyukur karena bagaimanapun caranya dan siapapun perantaranya, surat-surat itu sempat sampai dan dibaca oleh yang tertuju. Meski tidak mengubah apa-apa, paling tidak gak selamanya menjadi tanda tanya dalam hidup. Karena sungguh, menyimpan pertanyaan tak terjawab itu sangat gak enak.

Ada beberapa typo dalam buku tapi gak sempat gue catat karena ga begitu mengganggu sih. Ya tapi emang cukup keliatan. Hehe. Dan mayan banyak loh. Tapi ya itu, gue males (dan ga sempet) nyatet. Karena lebih baik fokus pada yang bagus-bagusnya aja (dalam hal ini kalimat-kalimat manis yang udah gue kutip diatas) daripada fokus ama kejelekan lainnya (typo). Karena sungguh, buku ini layak dibaca kalo kalian butuh suatu bacaan yang manis dan bikin baper.

Covernya sederhana, dan gak mencolok. Tapi isinya dahsyat... That's why you can't judge a book by its cover. Okay?

Rate : 8,5/10

14 Agustus 2018

Sea You Soon a Review

Judul : Sea You Soon
Penulis : Happy Rose
Penerbit : Twigora
Jumlah Halaman : 243++
Harga : Rp. 72.000,-

***
Blurb

Cinta bisa menyakiti...
..juga menyembuhkan.

***
Blurb

Kal penakluk wanita. Agni tak meliriknya.
Kal peselancar seksi yang memesona.
Agni merasa Kal terlalu muda. Dia tak ingin cinta remaja.

Agni bahkan tak terpikir untuk jatuh cinta lagi. Hidupnya sudah terasa penuh -- juga penat -- diisi dengan kesibukan bekerja dan membesarkan Hito, putranya. Namun, Kal tak memberinya pilihan selain membiarkannya di dalam hidupnya; terpaksa meladeni keusilannya, memalingkan wajah ketika dia bertelanjang dada seenaknya...., dan setengah mati menahan emosi setiap kali Kal mencoba merayunya.

Semakin mengenal Kal, Agni yakin laki-laki itu sudah bisa membuat lawan jenisnya patah hati. Bukan mustahul Agni akan jadi korban selanjutnya. Dia merasa perlu menjaga hatinya dari Kal -- dan dari kemungkinan tragedi lama terulang lagi. Agni merasa dirinya bukan orang yang kuat. Satu-satunya cara untuk tidak patah hati adalah menghindari jatuh cinta sepenuhnya.

Untuk sementara waktu, dirinya tersenyum penuh kemenangan. Agni sanggup menutup mata dari segala yang tak ingin dia lihat. Namun ternyata dia tak bisa menutup hati dari orang yang membuatnya kembali merasakan cinta. Dan memang bukan begitu juga caranya; Agni harus memaafkan supaya bisa melupakan luka lama. Melupakan.... Supaya bisa jatuh cinta lagi.

***
Review

"Seseorang tidak akan benar-benar mengerti tentang rasa kehilangan yang dialami orang lain sampai dia mengalaminya sendiri" (halaman 58)

Buku ini bercerita tentang kehilangan yang ditulis oleh penulisnya dengan sangat baik, sampe-sampe pas baca gue ikut sedih dan perasaan itu ga enak banget menurut gue. Meski gue bersyukur karena endingnya bahagia dan melegakan. Hanya saja cerita tentang kehilangan-kehilangan didalamnya sungguh sangat memilukan. Saking feelnya itu dapet gitu loh...

Agni dan Kal, dua orang yang sama-sama pernah terluka sangat dalam. Lalu memutuskan untuk bersama. Yaaa meski awalnya nolak nolak, tapi tanpa perlu gue spoiler, pas baca juga Lo pasti dah bisa nebak kalo endingnya bakal bahagia.

Jujur. Gue sempet penasaran pas baca (lupa pada halaman berapa) bahwa Agni belum pernah hamil. Lalu Hito ini siapanya?? Kenapa Hito memanggil Agni dengan sebutan Ibu?? Informasi diawal yang gue dapatkan hanyalah bahwa Yudha (suami Agni) meninggal dunia dua jam sebelum Hito lahir. Daaaaan, another kejujuran, ketika gue tau fakta sebenarnya siapa itu Hito. Hati gue langsung seperti diremas-remas. Ngilu sekali rasanya membayangkan apa yang dialami oleh Agni. Dan gue yakin gue ga akan sanggup melakukan apa yang Agni lakukan. Apapun alasannya...

Pekerjaan para tokoh didalamnya anti-mainstream, dan cukup bervariasi. Ada Agni si freelancer yang menggambar ilustrasi pada suatu penerbitan. Kal yang seorang surfer. Yudha si Pilot. Sorel (nama yang lucu ya) instruktur yoga. Jenis pekerjaan yang kemudian digambarkan dengan baik oleh penulisnya hingga bener-benet kerasa hidup para tokoh tsb karena feelnya dapet. Nah gue gak tahu profesi yang mana yang dekat dengan si Penulis, atau kalo ga ada satupun juga gue ga tau, yang jelas penulis pasti  melakukan cukup banyak riset untuk membuat tokoh-tokoh didalamnya terasa hidup dan bikin buku ini ga seperti cerita kosong yang mengalir.

Bahkan tingkah laku sikecil Hito pun digambarkan dengan sangat baik, sehingga bikin gue sebagai pembaca mampu benar-benar memahami Hito dan merasakan nyawanya meski hanya lewat tulisan.

Gue ga paham kaitan judul dengan isi cerita kecuali Sea yang menggambarkan Laut, tempat dimana Kal berprofesi. Tapi ga ngerti kenapa menjadi Sea you soon (yang asumsi gue adalah plesetan dari see you soon? Cmiiw) hehehe. Warna covernya lembut dan menyegarkan. Pilihan warna yang matching, ga terlalu mencolok, tapi akan mampu mencuri hati dan menimbulkan rasa penasaran.

"Kadang memang tidak perlu hal-hal besar, atau sesuatu dengan formula hitungan yang rumit untuk mengubah arah hati seseorang" (halaman 59)

Alur maju yang menggunakan POV orang ketiga dan setting yang tidak terlalu ditonjolkan dengan mencolok, cukup menjadi teman bacaan yang layak. Tapi kalo kalian ga menyukai cerita sedih, gue ga menyarankan buku ini. Karena jujur saja setelah berhari-hari selesai baca, gue masih baper loh sedihnya. Hehehehe.

Rate? 7/10

By the way, akhir-akhir ini lagi banyak baca buku terbitan twigora. Ternyata genrenya masuk di bacaan gue. Dan yang jelas isinya ga mengecewakan, sesuai harapan gue hanya dengan baca blurb dan lihat covernya aja. That's why sekarang gue lagi keranjingan berburu novel-novelnya twigora. Ada beberapa yang masih dalam unread books gue dan akan segera gue baca dan bahas disini. Nantikan aja yah!!

11 Agustus 2018

Bridesmais Tale a Review

Identitas buku
Judul : The Bridesmaid Tale
Penulis : Fala Amalina
Penerbit : Gagasmedia, 2016
Jumlah Halaman : 278 ++
.
.
Tagline
"Tentang Hati yang tak Ingin Patah Lagi"
.
.
Blurb
Alana, Audi, Kaia, Nadine, dan Adel. Lima sahabat dengan karakter berbeda. Lana yang kelewat kaku, Audi yang terlalu saklek, Kaia si magnet lelaki, Nadine yang polos, dan Adel si gadis Alim. Namun, kelimanya punya impian yang sama : sukses dalam karier dan menikah dengan laki-laki impian.

Setelah terpisah sekian lama, kelimanya berkumpul kembali untuk sebuah kabar gembira. Nadine akan menikah! Ditengah kanar gembira itu, hanya Lana yang merasa cemas.

"Gue mau kalian yang jadi bridesmaid pernikahan impian gue. Tapi.... Kalian harus bawa pasangan masing-masing sebagai groomsman kalian"

Lana hanya bisa gigit jari di tempat duduknya. Pasalnya, hanya dirinyalah yang belum memiliki pasangan. Jangankan memiliki pasangan, Lana bahkan tidak berniat untuk jatuh cinta --- apalagi memercayai cinta.

Sebuah kisah tentang hati yang hampir tak punya harapan, tetapi cinta menyapanya kembali. Tentang seseorang yang ternyata menemukan tangan-tangan lain yang menguatkan.
.
.
Review

Adalah lima sahabat. Alana, Audi, Kaia, Nadine, san Adel. Seperti yang dibicarakan di blurb bahwa konflik cerita disebabkan karena Nadine yang mau menikah dan setiap bridesmaid harus bawa pasangan. Padahal Lana sudah lamaaaaa sekali jomblo.. Selain karena sibuk kerjaan, juga ada luka dimasa lalu yang gak diceritakan dengan jelas tapi sepertinya bikin Lana jadi pilih-pilih pasangan gitu.

Tapi menurut gue... sifat masing-masing tokoh gak begitu tergambar jelas kecuali si Lana yang emang keliatan hardworker nya (dengan dia bekerja terus-menerus dan begitu patuh pada atasannya) dan si Kaia yang magnet lelaki (terlihat dari doi yang gampang banget dapet pacar). By the way, sifat-sifat ini dituliskan pada blurb yah, Adel gini, Kaia gitu, Lana gini, Nadine gitu, Audi gini, blablabla... Tapi gue gak dapet feelnya pas baca... Adel si gadis alim aja gue gak ngerasain bagian mananya yang menggambarkan ini.

Satu lagi yang agak janggal sih menurut gueeee nih yaaa apa gue yang ga konsen baca aja apa gimana, tapiiii kalo baca di blurb mereka ini sudah terpisah sekian lama yang artinya ga ketemu2 kan ya... Naah tapi, setelah ketemu awal yg bahas mau jadi bridesmaid nadine itu kok ya abis itu jd sering ketemu? Sepele Pun alasannya. Kadang cuma pengen aja, kadang ngopi2 aja, kadang curhat-curhatan doang, atau cuma janjian shopping bareng. Pokoknya sering deh, dan alasannya gitu gitu tuh. Lah trus sekian lama gak ketemu sebelumnya tuh krn apa?

Konflik Lana dan Samudra cukup bikin gue gemes. Dan bok... udah lah ya pelajaran banget besok2 buat kalian. Ntah itu temenan deket ama cowok, ntah itu pacaran pura2, gaakkk mungkin banget salah satu atau bahkan keduanya ga terbawa perasaan. Seriously karena gue udah pernah ngalamin sendiri, beberapa kali, sampe akhirnya menikah dengan sahabat gue sendiri (oh tentunya setelah pacaran sekian tahun lamanya dan sekian ribu episode drama hahaha)

Bahasa ngobrolnya Lana ama Samudra ini juga kok agak kaku ya. Apa karena emang penokohan Samudra dibikin begitu kali yaaa.. Tapi beneran, gue cukup gemes ama mereka berdua ini. Hihi... Tapi, mon maap nih, adegan dewasanya kok gak ada sik? Padahal kan ini ceritanya tentang orang dewasa. Ya gapapa juga sihhh cuma agak kurang asik aja menurut gue. (Eh gimana? *ngikik)

Alur maju dg POV orang ketiga yang tau segalanyaaaa cukup bikin cerita ini enak dan ngalir dibacanya. Konfliknya juga gak berat2 banget kok, masih enak dinikmati utk dibaca pada waktu-waktu senggang. Ngisi waktu luang sambil nunggu jemputan ngantor, di kereta dalam perjalanan mudik, di ruang tunggu stasiun, atau malem-malem pas anak bayik udah bobok. *iya, ini gue...

Cerita yang menawarkan Happy ending. Salah satu jenis bacaan yang selalu jadi favorite gue sepanjang masa. Kalo kalian pun begitu, maka buku ini sangat sangat gue rekomendasikan. Apalagi kalo yang suka cerita-cerita romance sweet sweet gemes gimana gitu. Iya pokoknya yang bikin bacanya senyum senyum baper, trrus gemes ama tingkah laku tokohnya. Nah, buku ini sangat gue rekomendasikan untuk jadi bacaan kalian. Tenaaaang aja, kapan sih gue rekomendasiin bacaan yang berat-berat? Lah gue sendiri aja males mikir kalo baca yang gituan, makanya gue gak pernah baca. Makanya juga gue gak pernah ngasih rekomendasi buku yang berat-berat. Hahaha. Karena cukuplah menahan rindu pada suami dan anak yang terpisah jarak saja yang berat. Ehem...

Walau drama2an menuju happy endingnya tuh ya please deeehh cukup bikin gemes banget. Pelajaran nomor 2, plis deh cewek2 kenapa sih kalo marah harus gak mau denger penjelasan gituh? Gue sih tipe yang kalo ada apa-apa tuh dengerin penjelasannya dulu. Setelah itu baru deh ambil kesimpulan mo gimana slanjutnya. Apakah mau ngambek dan marah atau malah baikan. Hahahahaha. Karena ngambek atau marah tanpa mau mendengarkan alasan tu bagi gue khawatirnya salah ambil keputusan ye kan. Trus nyesel deh. No no noooo... Jd coba deh sekecewa atau semarah apapun kita, yokk ah denger dulu penjelasannya 😘 sebelum nasi jadi bubur, yang lo tau artinya apa kan gak perlu juga gue jelasin pribahasan disini kan? Hahaha

Warna cover pink lembut menggambarkan buku ini memang berisi kisah percintaan yang ah so sweet. Kisah cinta idaman yang jadi khayalan banyak orang lah. Dan buku ini dilabeli "penulis favorite di wattpad", karya doi udah dibaca lebih dari 4juta kali. Waaaw... Nah, Karena gue anaknya baru mainan Wattpad akhir2 ini dan ini juga udah mulai males dan ngegantung tulisannya, jadi gue beneran baru baca karya doi yaaaa yang ini. Pstt, ini pun beli buku second di toko buku online langganan... *tutupmuka*

Judul dan warna covernya menarik. Krna dua itu yang jadi alasan gue memilih untuk membeli buku ini. Gak heran, karena dua itu memang selalu jadi daya tarik buku-buku terbitan gagasmedia.

Rate : 7/10
.
.

My Favorite Quote from this book :

I didnt mean to fall in love, but I did.
And you didnt mean to hurt me, but you did. (Halaman 189)

3 Agustus 2018

Susah Sinyal a Review

Identitas buku
Judul buku : Susah sinyal
Penulis : Ika Natassa dan Ernest Prakasa
Penerbit : Gramedia
Harga : Rp. 79.000,-
Jumlah halaman ; 264++

***
BLURB

Jakarta bukan jenis kota yang membuatmu jatuh cinta pada pandangam pertama.
Tiga puluh enam tahun hidup di jakarta sudah cukup untuk membuat Ellen paham bahwa kota ini tidak cocok untuk yang lemah dan gampang menyerah, dan itu membuatnya sukses menjadi pengacara di usia muda.

Ellen selalu punya solusi untuk segalanya, kecualu untuk anaknya sendiri, Kiara., remaja pemberontak yang lebih sering melampiaskan emosi dan kreativitasnya di media sosial. Sebagai single mom, Ellen membesarkan Kiara dibantu ibunya, sosok yang bagi Kiara lebih seperti ibu dibandingkan Ellen. Tanpa Ellen sadari, hubungan mereka kian renggang dan selalu terganjal masa lalu yang Ellen simpan rapat-rapat.

Segalanya ada pada waktunya, dan segalanya juga bisa tiada pada waktunya. Dan ketika tiba pada waktunya, kita tidak bisa apa-apa. Hidup mereka langsung berubah saat sebuah tragedi menerjang tanpa diduga, yang menyebabkan Ellen "melarikan diri" ke Sumba dengan Kiara, meninggalkan sementara kasus besar yang sedang dia tangani.

Didaptasi dari skenario film Susah Sinyal karya Ernest Prakarsa dan Meira Anastasia, novel kolaborasi pertama Ika Natassa dan Ernest Prakarsa akan membawa kita ke dalam perjalanan menemukan diri sendiri, berdamai dengan masa lalu, dan juga menerima kenyataan, sepahit apapun itu, tanpa kehilangan harapan.

***
Review

Kalo kalian pembaca karya Ika Natassa dan juga penikmat stand up-nya Ernest, tentu kalian akan bisa dengan mudah menebak bagian mana yang "Ika banget", dan bagian mana yang "Ernest banget".

Novel ini sebenarnya bukan novel komedi, tapi beberapa dialog (yang gue yakin banget kalo itu bagiannya si Ernest), bikin novel ini bisa dinikmati dengan santai. Terlepas dari konfliknya yang berat dan cukup serius sebagai benang merah cerita. Dan Ika Natassa, menuliskan bagiannya dengan sangat baik, as always, deep dan bikin bapeeerrr maksimaaal...

Tidak terlalu banyak tokoh didalamnya dan juga cerita yang tidak berbelit-belit, khas novel-novel Ika Natassa bikin cerita ini enaaak banget dibaca. Ngalir santai sampe tau tau udah di endingnya aja. Hiks.. Beneran loh ga berasa tau-tau udah di ending aja, padahal bukunya mayan tebel. Kayak yang berasa, "duh kok udah abis aja sik".

Sumba digambarkan dengan baik, meski beberapa narasi gue skip baca karena emang gue anaknya gampang bosen baca narasi yang kelewat panjang. Haha. Jadi bukan salah tulisannya yang ngebosenin, emang dasar gue nya aja yang gampang bosen. Eh, Tapi tetep bikin gue penasaran dan jadi ingin ke sumba loh. Dan yg harus dipastikan lagi kalo mo ke sumba, kudu hotel yang ada wifinya ya. Catatan penting banget buat gue setelah baca buku ini (justru yang kayak gini yang malah jadi pelajaran gue after baca buku cobaaaa hahahaha). Karena kaaan gimana mo instastory dong kalo ga ada sinyal 🤣 Sinyal itu penting!!

Terlepas dari bagaimanapun sikap Ellen kepada Kiara, pelajaran (lainnya selain urusan sinyal) yang bisa gue dapatkan dari membaca novel ini adalah... Bahwa seorang Ibu, bagaimanapun dan apapun yang dia lakukan, pastilah yang menurutnya paling baik bagi anaknya. Meski kadang dia lupa mempertimbangkan perasaan anaknya. Atau mungkin dia hanya mengambil pilihan yang menurutnya baik tanpa berkompromi lebih dulu dg yang lain. Padahal ada perasaan anaknya kan yang harus dia pertimbangkan. Kadang, yang dikira baik bagi Ibu belom tentu yang diinginkan oleh anaknya. Mudah-mudahan Kalandra kelak ngerti, kenapa Mami tetep milih untuk kerja dan nitipin Kalandra sama Oma. #kemudiansedih

Yang gue suka dari cara Ika menulis adalah.. Ika selalu menyelipkan fakta yang entah gimana caranya bisa aja dia dapet. Seperti pada buku ini, pakaian terbaik beberapa org penting. Si A dg ini, si B dg itu. Blablabla. Dan di beberapa novel Ika lainnya juga selalu ada info2 semacam ini. (Ya riset dong mamiiiii....). Something yang selalu bikin gue kagum sama beliau karena bagi gue selain tulisannya bagus, dia juga pintar.

Susah Sinyal Yang gue punya adalah buku dengan cover lama. Cover dengan para pemain filmnya. Gue gak berkesempatan nonton filmnya waktu itu karena tau sendiri ya ditempat gue tinggal baru ada bioskop sebulanan ini. Hiks. Jadi mungkin cover novel ini adalah gambar poster filmnya. Gatau juga gue.. Naaah sekarang udah ada cover baru, design by Ika Natassa. Tuh gila kan ya, udah lah pinter nulis, berwawasan luar, karir bagus, pinter gambar pulaaaa. Apa ga gue kagum coba... Dan gue pribadi emang selalu berusaha punya novel (apalagi untuk para penulis favorite gue) yang edisi cover pertama kali terbit. Karena apaaaa? Yaaa... Seneng ajo gitu klo punya yg edisi awal. Berarti emang mengikuti, bukan beli pas udh rame aja. If you know what i mean ~ No offense, ini sih cuma kepuasan pribadi aja. Hehehe.

Nah, karena selama baca novel ini gue lagi sok rajin nulis beberapa kutipannya. Maka ijinkan gue menuliskan ulang beberapa diantaranya yang membekas dihati gue, dibawah ini :)

"Tidak ada yang dapat mengajarkan kita bagaimana menghadapi kehilangan, tapi kalaupun ada, semua kata-kaya itu tidak berarti karena tidak akan ada yang dapat mengembalikan yang telah pergi." (Halaman 55)

"Everyone has their own battle to fight, just like everyone has their own battle to lose, to win the war called life." (Halaman 92)

"You are only as good as you believe you are" (halaman 202)

"..karena, begitu merasa paling hebat, kamu akan berhenti belajar. Kamu akan sombong dan gak mau nyari ilmu lagi." (halaman 203)

"Pada akhirnya tidak ada yang bisa menolong kamu kecuali diri kamu sendiri" (halaman 219)

"To some people, we can never be right. Bagi beberapa orang, kita akan selalu salah. Tapi terkadang, butuh satu kesalahan besar untuk menciptkana keajaiban." (halaman 250)

Eniwei, yang masih ngeganjel dan jadi pertanyaan gue adalah sosok si bapaknya Kiara ini. Ntah kenapa lah gue malah penasaran ama doi. Dan karena cuma diceritain dikittttt banget, tambah lah penasaran. Hahaha.

Tadinya, ketika membaca judul buku ini gue berfikir bahwa cerita ini entah apa tapi yang berhubungan dengan sinyal yang ilang-ilangan. Yaa gue ga sepenuhnya salah sih, tapi juga ga sepenuhnya benar. Karena sesungguhnya konflik dan cerita utamanya ga tentang itu, hanya saja memang "susah sinyal" ini lah yang menjadi pemecah konfliknya.

Akhir kata, rating buku ini bagi gue adalah 9/10. Cocok dibaca siapa saja, dalam kondisi apapun, dan penggemar romance ataupun komedi sama-sama bisa menikmati buku ini. Bacaan ga berat tapi juga ga terlau ringan. Padat berisi tapi tetap dengan gaya bercerita yang santai. Cocok lah ya buat refreshing. Etapi, Kecuali lo penggemar thriller atau horor ya, mon maap nih buku ini agak kurang cocok buat lo. Hehehehe.

Blog Design ByWulansari