18 Agustus 2018

[blogtour] Overtime - Exclusive First Chapter | Part 2

Baca dulu Exclusive First Chapter yang Part 1 nya ya...
.
.
.

DIONDRA merapikan rok sepan hitamnya. Tapi, baru sedetik dia mera- sa penampilannya sudah sempurna, langkahnya tiba-tiba limbung, dan dia nyaris saja terjatuh.

Ternyata hak sepatunya patah. Bagus!

Diondra melirik ke sekeliling teras Hotel Nevenka, tempatnya ber- ada saat ini, tapi tidak menemukan bangku satu pun. Tertatih-tatih, dia pun bergeser hingga ke pinggir, sehingga tidak menghalangi lalu-lalang orang-orang yang keluar-masuk hotel.
  
Diperiksanya hak sepatunya yang patah, dan ternyata hak sepatu- nya itu memang sudah tidak bisa terselamatkan. Kalau dia tidak mau berjalan timpang, mau tidak mau dia harus mematahkan hak sepatunya yang sebelah lagi. Meski sayang, dia tetap mencoba untuk melakukannya.

Tentu, kalau mau sengaja dipatahkan, hak sepatu itu malah menunjukkan ketangguhannya, dengan menolak untuk dipisahkan dari badan- nya. Diondra menariknya dengan sekuat tenaga, lalu memukul-mukul- kannya ke lantai. Tapi hak sepatu itu tetap  menempel erat  dengan badannya, seolah meledek Diondra yang sampai mengerang dengan su- ara aneh. Dan ternyata suara erangannya menarik perhatian seseorang, yang tiba-tiba sudah berdiri di hadapannya.

“You sound like you’re having sex,” komentar orang itu, yang kontan membuat Diondra berhenti mengerang. Dia mendongak, dan melihat seorang laki-laki terseksi yang pernah dilihatnya selama dua puluh tujuh tahun hidupnya. Laki-laki itu memiliki mata setajam elang, dengan rambut lurus dan rahang tegas. Sebuah anting hitam menghiasi telinga kiri- nya. Dia menyeringai melihat Diondra yang terbengong-bengong, dan merebut sepatu yang haknya dicoba dipatahkan itu. Otot biseps di balik kaus putih yang dikenakannya sampai mengencang ketika dengan sekuat tenaga laki-laki itu mematahkan hak sepatu itu, dengan suara seperti tulang yang dipatahkan. Usai memisahkan hak sepatu itu dari badannya, diserahkannya keduanya pada Diondra, yang hanya menerimanya tanpa berkata apa-apa. Belum sempat Diondra mengucapkan terima kasih, karena dia masih terpesona pada laki-laki itu, laki-laki itu sudah keburu pergi dari hadapannya. Diondra memperhatikannya, dan melihatnya berjalan menuju  Porsche Boxster merah  yang diparkir  di pelataran parkir VIP, di seberang teras hotel. Laki-laki itu memasuki mobil itu, menyalakan mesinnya, dan meraung pergi dari pelataran parkir hotel.

Seksi, kuat, kaya. Diondra merasa dia akan pingsan.

Tapi dia tidak boleh pingsan. Hari ini adalah hari yang penting bagi- nya, di mana dia akan diwawancara oleh direktur hotel ini, untuk men- jadi asisten pribadinya. Dia sudah lolos wawancara dengan HR manager, lalu dengan asisten pribadi direktur yang akan digantikannya. Jadi, kini tinggal direktur itu sendiri. Kalau direktur itu menerimanya, maka ini akan menjadi pengalaman bekerja keduanya setelah lulus kuliah.

Sesungguhnya, Diondra tidak menyangka akan lolos sampai sejauh ini. Dia memang sudah memiliki pengalaman bekerja, tapi itu sebagai purchasing staff, yang tentunya sangat berbeda dengan pekerjaan yang dilamarnya ini. Jadi bisa dibilang dia hanya mengandalkan keberuntung- an kali ini. Dan ternyata dia memang beruntung—hampir. Masih ada satu langkah lagi sebelum keberuntungannya menjadi benar-benar nyata.

Sembari memasukkan dua hak sepatunya yang patah ke tasnya— mungkin dia masih bisa menyelamatkannya nanti, dengan mengelem- nya atau apa; dia tidak ingin membuang-buang uang dengan membeli sepatu baru—Diondra mulai berjalan memasuki hotel. Sesuai dengan pe- tunjuk Lori—asisten pribadi direktur yang akan digantikannya itu—dia menunggu di salah satu sofa emas yang ada di lobi. Dia sengaja datang lebih pagi untuk wawancara ini. Syukurlah, mengingat insiden patahnya hak sepatunya itu.

Lobi hotel itu luas dan sangat mewah. Selain sofa-sofa emas beserta meja kopi yang terletak di posisi-posisi tertentu, ada sebuah tangga elips di tengah-tengah  lobi, dengan pegangan tangga emas. Kandil-kandil kristal juga tergantung di posisi-posisi tertentu, dan lantainya berlapis karpet emas dengan motif naga.
Kurang tidur dan harus bangun pagi-pagi, ditambah suasana lobi yang nyaman dan sejuk, membuat Diondra menyerah terhadap kantuk. Dia tadinya hanya ingin memejamkan mata barang semenit saja, tapi ketika dia membuka matanya lagi, ternyata empat puluh lima menit telah berlalu, dan Lori sudah berdiri di hadapannya. Lori yang membangunkannya.

“Ngantuk, Di?” goda Lori.

Diondra kontan panik. “Maaf, maaf, maaf,” cetusnya.

“S-saya nggak sengaja ketiduran.”

Lori mengibaskan tangannya. “Santai saja, Di,” katanya menenang- kan. “Saya juga mungkin akan ketiduran kalau disuruh menunggu di lobi ini. Eh, tunggu. Saya memang pernah ketiduran di lobi ini.”
Diondra memaksakan tawa, meski masih merasa panik. Dia memang begitu bodoh, sampai ketiduran begitu. Untung saja Lori bersikap santai.

Lori memimpin Diondra berjalan ke arah lift, dan naik ke lantai tiga. Mereka lalu melintasi sebuah koridor yang berakhir di sebuah ru- angan yang disekat kaca. Ada sebuah meja kerja di balik kaca itu, yang sepertinya adalah meja Lori. Di seberangnya, ada sebuah ruang tunggu, yang hanya terdiri dari satu sofa hitam dan meja kopi. Tidak jauh dari meja kerja Lori dan ruang tunggu itu, ada sebuah pintu kayu besar. Lori mengetuknya, dan setelah dipersilakan masuk, dia membawa serta Diondra bersamanya.

Diondra terpana melihat calon bosnya, yang sedang duduk di ba- lik meja kerjanya. Laki-laki, masih muda, dan... ya Tuhan... amat seksi. Tidak cukupkah laki-laki seksi/kuat/kaya di bawah tadi, sehingga calon bos Diondra pun harus seseksi itu?

Tidak bisa tidak, Diondra pun teringat  pada Yuda—senior yang menjadi pacar pertama, sekaligus pacar satu-satunya, saat dia kuliah. Wajah Tyler sedikit mirip dengan Yuda, dengan mata jernih, alis lebat, dan hidung mancung. Mungkin karena itu detak jantung Diondra men- jadi tidak beraturan sekarang.

Nama “TYLER NASH” tertulis di plakat yang ada di atas meja ker- ja calon bos Diondra itu, di atas tulisan “DIREKTUR”. Dia berdiri ketika Diondra dan Lori masuk, dan menyalami Diondra, sambil tersenyum ramah. Sentuhan tangannya, dan senyumannya, berhasil membuat Diondra lupa caranya bernapas.

“Silakan duduk,” kata Tyler pada Diondra, dan Diondra pun me- nurutinya. Dia sendiri pada akhirnya juga kembali duduk.

Lori memberikan sebuah map pada Tyler. Lalu, setelah memberi- kan Diondra semangat lewat senyumannya, dia duduk di salah satu sofa yang ada di belakang kanan Diondra.

“Jadi, Diondra Wilda,” mulai Tyler, membaca nama Diondra di do- kumen yang ada di dalam map itu, yang merupakan CV Diondra. “Itu nama kamu, kan?”

“Benar, Pak.”

“Saya nggak akan mengajukan banyak pertanyaan, karena saya ya- kin kamu sudah cukup mendapatkannya dari Bu Kanaya dan Lori,” kata Tyler. Bu Kanaya, seingat Diondra, adalah nama sang HR manager.

“Tapi beri tahu saya, kenapa kamu tertarik menjadi asisten pribadi saya?”

“Karena menjadi asisten pribadi adalah hal yang baru untuk saya, dan saya selalu menyukai hal-hal baru, yang bisa saya jadikan pengalam- an hidup saya. Tapi meskipun itu adalah hal yang baru, saya akan tetap bisa menguasai pekerjaan saya dengan cepat.”

“Oh, jadi kamu bukan tertarik karena gajinya yang besar?”

Perlu waktu beberapa saat bagi Diondra untuk menyadari kalau Tyler hanya sedang menggodanya. Dia langsung tertawa kikuk, setelah sebelumnya sempat menganggap serius pertanyaan Tyler.

“Y-yah... itu salah satunya,” aku Diondra.

Tyler kembali serius. “Di CV kamu, tertulis kalau kamu sudah be- kerja sebagai purchasing staff selama empat tahun,” katanya. “Apa yang membuat kamu akhirnya berhenti? Apa perusahaan lama kamu nggak memuaskan?”

Sebenarnya, ya, tapi Diondra malah berkata, “Bukan, bukan seperti itu. Saya hanya ingin mencari pengalaman baru.”

Tyler mengangguk-angguk. “Oke, kalau begitu pertanyaan  tera- khir,” katanya, membuktikan kata-katanya kalau dia memang tidak akan mengajukan banyak pertanyaan. “Apa kamu punya pacar?”

Diondra langsung terbengong-bengong mendengar pertanyaan itu. Apa memang wajar Tyler bertanya seperti itu?

“Jangan berpikir yang macam-macam,” kata Tyler, karena Dion- dra lama hanya terdiam. “Kalau memang ya, saya hanya ingin tahu apa kamu berniat untuk menikah dalam waktu dekat, karena saya nggak ingin ada laki-laki yang merebut kamu dari saya.”

Lori tiba-tiba tertawa, membuat Diondra mencurigai kalau kata- kata Tyler itu ada hubungannya dengan perempuan itu. Dan sepertinya memang ada, dilihat dari kata-kata yang diucapkan Lori untuk menim- pali kata-kata Tyler.

“Nggak semua wanita yang akan menikah akan berhenti dari pekerjaannya.”

“Dan seharusnya kamu pun begitu,” kata Tyler. Dia lalu berpaling kembali pada Diondra. “Saya hanya nggak suka bergonta-ganti asisten, karena itu akan terlalu merepotkan. Jadi kalau kamu memang mau be- kerja sebagai asisten pribadi saya, saya harap kamu akan benar-benar berkomitmen. Jangan baru bekerja satu tahun, lalu kamu berhenti.”

Diondra mengangguk mantap. “Saya akan benar-benar berkomitmen.”

“Jadi, kamu siap bekerja mulai Senin depan?”

Mata Diondra membesar. “Maksud Bapak, saya diterima?” “Kecuali kamu nggak mau diterima,” tanggap Tyler enteng.

“Tentu saja saya mau diterima,” sergah Diondra buru-buru. “Dan saya siap untuk bekerja mulai Senin depan.”

“Bagus. Kalau bisa, Jumat ini kamu datang dulu ke sini, supaya Lori bisa mengajari kamu apa-apa saja yang perlu kamu lakukan sebagai asisten pribadi saya. Nggak sulit, sebenarnya, jadi kamu pasti akan bisa menguasainya dengan mudah.”

“Saya akan datang Jumat  ini,” kata Diondra. “Terima kasih, Pak. Terima kasih banyak.”

“Sama-sama, Diondra,” balas Tyler. “Selamat bergabung di Hotel Nevenka.”

Diondra keluar dari ruang kerja Tyler dengan perasaan senang luar biasa. Lori, yang mengantarnya kembali ke bawah, sampai bisa mengetahuinya, hanya dengan melihat ekspresi wajahnya.

“Kamu terlihat seperti ingin terbang,” goda Lori. “Tapi selamat ya, Di. Kamu sudah mendapatkan bos terbaik yang mungkin kamu miliki.”

“Terima kasih. Tyler sepertinya memang baik.”

“Terbaik. Kamu nggak akan bisa menemukan bos seperti dia di tempat lain.”

Mereka turun dengan lift, dan kembali ke lantai dasar. Sepanjang berada di dalam lift dan melintasi lobi, mereka terus bercakap-cakap.

“Pekerjaan kamu, seperti yang dibilang Tyler tadi, memang nggak sulit,” kata Lori. “Kamu hanya akan mengurus jadwal-jadwalnya, doku- men-dokumen yang perlu ditandatanganinya, mengangkat telepon-tele- ponnya, dan hal-hal remeh lainnya. Untuk detailnya, akan saya kasih tahu kamu Jumat nanti.”

“Saya perlu datang jam berapa Jumat nanti?”

“Sebelum jam makan siang, kalau bisa. Kamu telepon saya saja ka- lau kamu sudah sampai sini. Kamu ada nomor HP saya, kan?”

Diondra mengangguk. “Saya akan datang sekitar jam sembilan.” Mereka telah tiba di dekat pintu utama hotel. Diondra sudah akan berpamitan, tapi Lori menahannya.

“Tentang pekerjaan kamu itu, sebenarnya ada satu  lagi. Kamu mungkin asisten pribadi Tyler. Tapi, sesekali, kamu harus berhubungan sama adiknya juga.”

“Adiknya?” ulang Diondra, tidak tahu kalau Tyler punya adik. Lebih jauh lagi, dia memang tidak tahu apa-apa tentang laki-laki itu.

Lori mengangguk. “Namanya Christopher Nash,” katanya. “Dia wakil direktur di sini, andai saja dia lebih sering bekerja.” Subkalimatnya diucapkan dengan setengah berbisik, seolah tidak ingin orang lain selain Diondra mendengarnya. Tapi di kalimatnya selanjutnya, suaranya nor- mal kembali. “Dia nggak memiliki asisten pribadi—dulu ada, tapi tiga gadis yang menjadi asisten pribadinya selalu berhenti setelah sebulan kerja. Jadi, sesekali Tyler pasti akan menyuruh kamu untuk mengurus jadwal-jadwalnya juga.”

“Apa Christopher itu orang yang sulit?” tanya Diondra penasaran. “Mmm... gimana, ya?” Lori malah bertanya-tanya sendiri. “Dia juga baik, sebenarnya, tapi sedikit lebih... rumit, dibanding Tyler.”

“Rumit gimana?” desak Diondra, merasa ingin tahu lebih banyak tentang bosnya yang satu lagi.

Lori menggaruk-garuk  kepalanya, merasa  kebingungan sendiri. “Intinya, kamu hati-hati saja kalau berurusan sama dia,” katanya, masih tidak jelas. “Apalagi kamu cantik begini, jadi dia pasti nggak akan mele- watkan kamu.”

Diondra malah merasa ngeri begitu mendengar kata-kata Lori, seolah Christopher Nash itu adalah pemangsa dan dia adalah calon korbannya.

Eh, tapi mungkin saja begitu.

“Tyler dan Christopher nggak akur,” kata Lori. “Jadi akan cukup sulit bekerja untuk keduanya sekaligus.”

  “Masalah keluarga?” tebak Diondra.

“Salah satunya. Tapi kedua laki-laki itu sepertinya memang nggak dilahirkan untuk bisa akur. Sepanjang yang saya tahu, sudah dari kecil mereka begitu.”

“Oh,” kata Diondra. Dia sebenarnya masih penasaran dengan masa- lah antara kedua bosnya, tapi dia tidak bisa bertanya-tanya lagi, karena Lori harus segera kembali ke atas. Jadi setelah saling berpamitan, mere- ka pun berpisah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Blog Design ByWulansari