14 September 2016

berakhir disini





***
Aku berhenti tepat didepan Kedai Teh, tempat kami berjanji bertemu. Sebenarnya tempat ini punya banyak cerita tentang kami. Tempat ini salah satu saksi betapa dia selalu bisa mengubah sedih paling pilu menjadi tawa paling bahagia. Aku memarkir mobilku, dan mematikan mesin, tetapi tidak beranjak keluar. Aku melihatnya duduk disitu, disudut favorite kami.
Dia dengan kemeja lengan panjang yang digulung hingga siku. Dia sedang mengaduk-aduk gelas tehnya dengan pandangan menerawang. Ingin rasanya aku berlari dan memeluknya. Tapi aku menghela nafas berat, bukan itu yang harus aku lakukan. Bukan lagi.
Sekujur tubuhku mendadak beku, keberanian yang sudah aku siapkan sejak semalam menguap entah kemana. Aku ingin pergi dari sini, pergi jauh-jauh dan tidak bertemu dia lagi. Aku takut sakit hati, aku takut kecewa, aku takut tidak siap menerima apapun yang akan kami bicarakan jika aku menemuinya sekarang.
Tidak. Tidak. Tidak.
Ah, Kafka. Ternyata aku mencintaimu sebesar ini...

“Pak, tolong telponkan taksi buat saya, ya...”
“Blue bird apa Star Cab, bu?”
“Terserah aja, Pak...”
“Baik, bu. Ibu duduk aja dulu, ya.. Saya telponkan taksinya...”
Aku baru akan melangkah menuju sofa disudut ruangan saat sebuah suara mengejutkan aku dan satpam yang akan menelpon taksi pesananku.
“Mau pulang?”
Aku menoleh mencari asal suara, dan dia berdiri disana. Dengan kemeja yang kancing paling atasnya sudah terbuka, serta dasi yang sudah longgar. Wajah kusutnya yang tersenyum ramah, dan wangi parfume yang menguar kuat dari tubuhnya.
Aku tersenyum, “Iya, nih...”
“Abis lembur, ya?”
“Apa harus dijawab?” Aku balik bertanya,
Kami tertawa.
“Pulangnya kemana?” dia bertanya lagi.
“Bukit besar...”
“Aku antar saja, yuk. Udah malem ini....” dia menawarkan. Aku mengernyit menatapnya. Kami belum saling kenal.
“Rumah kamu di Bukit Besar juga?”
“Di Plaju sih, tapi gapapa aku antar aja...”
“Gak usah, nanti muternya jauh. Aku naik taksi aja...” Aku menolak halus. Sudah semalam ini, tanpa mengantar pun dia sudah harus berjalan jauh menuju rumahnya.
“Gapapa. Tenang aja, aman, ga akan aku culik kok...”
Aku tertawa, “Bukan takut diculik... Tapi...”
Perdebatan. Perdebatan. Akhirnya aku menyetujui pulang bareng dia. Perjalanan panjang yang terasa singkat, kami bercerita banyak hal. Ternyata dia menyenangkan. Dan lucu. Namanya Kafka, dan dia masuk satu angkatan sama aku. Aneh sampai aku tidak mengenal laki-laki yang bahkan udah jam segini tapi wangi parfumenya masih menyegarkan.

Aku menghela nafas, lamunanku buyar. Aku kembali memandangi dari jauh sosok yang duduk dengan tetap mengaduk-aduk gelas dihadapannya. Sedari tadi, belum sedikit pun dia menyeruput isi gelasnya.
Ah, Kafka...
 Aku gak pernah menyangka bahwa semua akan menjadi seberat dan sesulit ini. Selama ini, Kafka... selama ini, sama kamu, hal seberat dan sesulit apapun akan selalu terasa mudah dan ringan....

“Sering-sering nelpon aku, apa pacar kamu nggak marah?” aku bertanya pada suatu sesi telpon random tengah malam kami.
Aku mendengar dia tertawa pelan.
“Ih, aku nanya serius malah diketawain. Males...” aku pura-pura merajuk.
“Aku nggak punya pacar, Kearaaaa....”
Entah kenapa aku tersenyum lebar ketika mendengar jawabannya malam itu. Untung saja lewat telpon, kalo bertemu langsung dia pasti sudah bisa melihat rona merah di pipi ku yang norak ini.

Aku mungkin bodoh, bagaimana mungkin aku bisa beranggapan bahwa laki-laki seusia kamu, tampan, mapan, dan masih sendiri. Iya, kamu memang tidak punya pacar. Tapi...

“Gue liat-liat lo kayaknya deket banget ama si Kafka ya, Key?”
Pada suatu makan siang, salah satu sahabat baikku dikantor menanyakan kedekatanku dan Kafka.
Aku tidak menjawab, hanya tersenyum pelan sambil terus memotong baksoku menjadi kecil-kecil.
“Ati-ati aja kalo pulang bareng dia, atau pergi-pergi ama dia, atau telpon dan bbm dia....”
Aku mengernyit bingung. “Ati-ati kenapa?” dan menyuap sepotong kecil bakso kedalam mulutku.
“Ntar ketauan istrinya loh...”
Aku nyaris tersedak mendengar perkataan santai Rahmi, sahabatku itu.
“Istri?”
Kali ini Rahmi yang menatapku heran.
Aku balas menatapnya penuh tanda tanya.
“Oh my God... Jangan bilang lo gak tau kalo dia udah nikah?”
Aku melongo.
Rahmi menepuk jidatnya. “Istrinya baru aja lahiran beberapa bulan yang lalu, Kearaaaaa.....”

Dan hari itu, genap dua bulan sejak malam kita berkenalan. Duniaku rasanya runtuh...
Aku gak bisa menghitung berapa banyak hal manis yang sudah kita lewati bareng. Aku bahkan gak ngerti bagaimana caranya kamu bisa selalu sama aku hampir setiap malem minggu, bisa sering nelpon aku setiap malam dan ngobrol random. Aku gak pernah tau dan gak pernah cari tahu karena aku gak pengen tau.
Aku memilih membiarkannya, Kafka. Sama kamu, rasanya selalu indah, maka aku mengabaikan hal-hal lain yang penting aku bahagia. Aku jahat ya, Kafka?
Sudah setengah jam aku disini, dan keberanianku sudah menghilang sepenuhnya. Berat, kuambil handphoneku, mengetik sesuatu yang sangat panjang dengan cepat. Membacanya sekali lagi, dan mengirimkannya padamu.
Aku melihat dari jauh kamu mengernyit bingung melihat email masuk dariku. Harusnya aku yang datang ya, Kafka. Bukan email itu. Seperti janjiku pada telpon semalam...

“Besok kamu sibuk?”
“Enggak, kenapa?”
“Ketemuan, yuk....”
“Boleh.... Mau aku jemput jam berapa?”kamu selalu saja manis seperi itu Kafka...
Dadaku berdenyut perih. “Jam 2 siang, cafe biasa. Tapi langsung ketemu disana aja...” Aku menjawab cepat.
“Tumben gak mau dijemput?”ada nada heran yang terdengar jelas.
Aku tidak menjawab pertanyaannya. “Sampai ketemu besok ya, Kafka...”kataku cepat, lalu mematikan telpon.
Tanpa mengucapkan salam penutup.

Aku melihat dari jauh kamu membaca pelan e-mail yang aku kirim itu. Aku melihat perubahan wajahmu pelan-pelan. Hampir saja pertahananku luruh, dan aku berlari menemuimu. Hampir saja aku menyerah, seperti selalu. Tapi semuanya memang sudah harus diakhir, Kafka.
Bulir bening mengalir dari sudut mataku, aku menghapusnya cepat. Tak pernah terbayangkan bahwa ternyata seberat ini rasanya.
Aku melihatmu sekali lagi, menghela nafas, menghidupkan mesin mobil, dan berlalu.
Selamat tinggal, Kafka. Aku akan baik-baik saja. Hari ini memang berat, tapi aku pasti bisa melaluinya. Sudah cukup aku menjadi alasan hatimu terbagi. Melihat tawa lucu anakmu saat kita tak sengaja bertemu waktu itu sudah cukup membuatku menyerah. Aku mungkin bisa saja tak peduli pada istrimu, tapi tidak pada anak laki-laki lucu menggemaskan itu. Aku tidak ingin jadi alasan ayah dan ibunya berpisah, dan kebahagiannya direnggut paksa.
Aku mencintai kamu, Kafka.
Tapi semuanya memang harus berakhir disini.
Blog Design ByWulansari