baca dulu cerita yang sudah (harus) selesai
***
Aku berhenti tepat didepan Kedai Teh,
tempat kami berjanji bertemu. Sebenarnya tempat ini punya banyak cerita tentang
kami. Tempat ini salah satu saksi betapa dia selalu bisa mengubah sedih paling
pilu menjadi tawa paling bahagia. Aku memarkir mobilku, dan mematikan mesin,
tetapi tidak beranjak keluar. Aku melihatnya duduk disitu, disudut favorite
kami.
Dia dengan kemeja lengan panjang yang
digulung hingga siku. Dia sedang mengaduk-aduk gelas tehnya dengan pandangan
menerawang. Ingin rasanya aku berlari dan memeluknya. Tapi aku menghela nafas
berat, bukan itu yang harus aku lakukan. Bukan lagi.
Sekujur tubuhku mendadak beku,
keberanian yang sudah aku siapkan sejak semalam menguap entah kemana. Aku ingin
pergi dari sini, pergi jauh-jauh dan tidak bertemu dia lagi. Aku takut sakit
hati, aku takut kecewa, aku takut tidak siap menerima apapun yang akan kami
bicarakan jika aku menemuinya sekarang.
Tidak. Tidak. Tidak.
Ah, Kafka. Ternyata aku mencintaimu
sebesar ini...
“Pak,
tolong telponkan taksi buat saya, ya...”
“Blue
bird apa Star Cab, bu?”
“Terserah
aja, Pak...”
“Baik,
bu. Ibu duduk aja dulu, ya.. Saya telponkan taksinya...”
Aku
baru akan melangkah menuju sofa disudut ruangan saat sebuah suara mengejutkan
aku dan satpam yang akan menelpon taksi pesananku.
“Mau
pulang?”
Aku
menoleh mencari asal suara, dan dia berdiri disana. Dengan kemeja yang kancing
paling atasnya sudah terbuka, serta dasi yang sudah longgar. Wajah kusutnya
yang tersenyum ramah, dan wangi parfume yang menguar kuat dari tubuhnya.
Aku
tersenyum, “Iya, nih...”
“Abis
lembur, ya?”
“Apa
harus dijawab?” Aku balik bertanya,
Kami
tertawa.
“Pulangnya
kemana?” dia bertanya lagi.
“Bukit
besar...”
“Aku
antar saja, yuk. Udah malem ini....” dia menawarkan. Aku mengernyit menatapnya.
Kami belum saling kenal.
“Rumah
kamu di Bukit Besar juga?”
“Di
Plaju sih, tapi gapapa aku antar aja...”
“Gak
usah, nanti muternya jauh. Aku naik taksi aja...” Aku menolak halus. Sudah
semalam ini, tanpa mengantar pun dia sudah harus berjalan jauh menuju rumahnya.
“Gapapa.
Tenang aja, aman, ga akan aku culik kok...”
Aku
tertawa, “Bukan takut diculik... Tapi...”
Perdebatan.
Perdebatan. Akhirnya aku menyetujui pulang bareng dia. Perjalanan panjang yang
terasa singkat, kami bercerita banyak hal. Ternyata dia menyenangkan. Dan lucu.
Namanya Kafka, dan dia masuk satu angkatan sama aku. Aneh sampai aku tidak
mengenal laki-laki yang bahkan udah jam segini tapi wangi parfumenya masih
menyegarkan.
Aku menghela nafas, lamunanku buyar. Aku
kembali memandangi dari jauh sosok yang duduk dengan tetap mengaduk-aduk gelas
dihadapannya. Sedari tadi, belum sedikit pun dia menyeruput isi gelasnya.
Ah, Kafka...
Aku
gak pernah menyangka bahwa semua akan menjadi seberat dan sesulit ini. Selama
ini, Kafka... selama ini, sama kamu, hal seberat dan sesulit apapun akan selalu
terasa mudah dan ringan....
“Sering-sering
nelpon aku, apa pacar kamu nggak marah?” aku bertanya pada suatu sesi telpon
random tengah malam kami.
Aku
mendengar dia tertawa pelan.
“Ih,
aku nanya serius malah diketawain. Males...” aku pura-pura merajuk.
“Aku
nggak punya pacar, Kearaaaa....”
Entah
kenapa aku tersenyum lebar ketika mendengar jawabannya malam itu. Untung saja
lewat telpon, kalo bertemu langsung dia pasti sudah bisa melihat rona merah di
pipi ku yang norak ini.
Aku mungkin bodoh, bagaimana mungkin aku
bisa beranggapan bahwa laki-laki seusia kamu, tampan, mapan, dan masih sendiri.
Iya, kamu memang tidak punya pacar. Tapi...
“Gue
liat-liat lo kayaknya deket banget ama si Kafka ya, Key?”
Pada
suatu makan siang, salah satu sahabat baikku dikantor menanyakan kedekatanku
dan Kafka.
Aku
tidak menjawab, hanya tersenyum pelan sambil terus memotong baksoku menjadi
kecil-kecil.
“Ati-ati
aja kalo pulang bareng dia, atau pergi-pergi ama dia, atau telpon dan bbm
dia....”
Aku
mengernyit bingung. “Ati-ati kenapa?” dan menyuap sepotong kecil bakso kedalam
mulutku.
“Ntar
ketauan istrinya loh...”
Aku
nyaris tersedak mendengar perkataan santai Rahmi, sahabatku itu.
“Istri?”
Kali
ini Rahmi yang menatapku heran.
Aku
balas menatapnya penuh tanda tanya.
“Oh
my God... Jangan bilang lo gak tau kalo dia udah nikah?”
Aku
melongo.
Rahmi
menepuk jidatnya. “Istrinya baru aja lahiran beberapa bulan yang lalu,
Kearaaaaa.....”
Dan hari itu, genap dua bulan sejak
malam kita berkenalan. Duniaku rasanya runtuh...
Aku gak bisa menghitung berapa banyak
hal manis yang sudah kita lewati bareng. Aku bahkan gak ngerti bagaimana
caranya kamu bisa selalu sama aku hampir setiap malem minggu, bisa sering
nelpon aku setiap malam dan ngobrol random. Aku gak pernah tau dan gak pernah
cari tahu karena aku gak pengen tau.
Aku memilih membiarkannya, Kafka. Sama
kamu, rasanya selalu indah, maka aku mengabaikan hal-hal lain yang penting aku
bahagia. Aku jahat ya, Kafka?
Sudah setengah jam aku disini, dan
keberanianku sudah menghilang sepenuhnya. Berat, kuambil handphoneku, mengetik
sesuatu yang sangat panjang dengan cepat. Membacanya sekali lagi, dan
mengirimkannya padamu.
Aku melihat dari jauh kamu mengernyit
bingung melihat email masuk dariku. Harusnya aku yang datang ya, Kafka. Bukan
email itu. Seperti janjiku pada telpon semalam...
“Besok
kamu sibuk?”
“Enggak,
kenapa?”
“Ketemuan,
yuk....”
“Boleh....
Mau aku jemput jam berapa?”kamu selalu saja manis seperi itu Kafka...
Dadaku
berdenyut perih. “Jam 2 siang, cafe biasa. Tapi langsung ketemu disana aja...”
Aku menjawab cepat.
“Tumben
gak mau dijemput?”ada nada heran yang terdengar jelas.
Aku
tidak menjawab pertanyaannya. “Sampai ketemu besok ya, Kafka...”kataku cepat,
lalu mematikan telpon.
Tanpa
mengucapkan salam penutup.
Aku melihat dari jauh kamu membaca pelan
e-mail yang aku kirim itu. Aku melihat perubahan wajahmu pelan-pelan. Hampir
saja pertahananku luruh, dan aku berlari menemuimu. Hampir saja aku menyerah,
seperti selalu. Tapi semuanya memang sudah harus diakhir, Kafka.
Bulir bening mengalir dari sudut mataku,
aku menghapusnya cepat. Tak pernah terbayangkan bahwa ternyata seberat ini
rasanya.
Aku melihatmu sekali lagi, menghela
nafas, menghidupkan mesin mobil, dan berlalu.
Selamat tinggal, Kafka. Aku akan
baik-baik saja. Hari ini memang berat, tapi aku pasti bisa melaluinya. Sudah
cukup aku menjadi alasan hatimu terbagi. Melihat tawa lucu anakmu saat kita tak
sengaja bertemu waktu itu sudah cukup membuatku menyerah. Aku mungkin bisa saja
tak peduli pada istrimu, tapi tidak pada anak laki-laki lucu menggemaskan itu.
Aku tidak ingin jadi alasan ayah dan ibunya berpisah, dan kebahagiannya
direnggut paksa.
Aku mencintai kamu, Kafka.
Tapi semuanya memang harus berakhir
disini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar