baca dulu Diantara Kalian (Part 1)
***
Aku nyaris
membatalkan pernikahanku dan berjuang mati-matian mendapatkan cinta bidadari
itu. Aku tahu, hubungan yang sudah dia jalani tujuh tahun itu tentu tak mudah
digoyahkan. Tapi aku mau mengupayakan apapun. Aku mau dia, dan aku tidak mau
menyerah sebelum sempat berjuang.
Tapi hari
itu Alisha masuk kedalam mobilku dengan senyum dan tatapan yang tidak biasa.
Aku menjemputnya dikantor saat jam makan siang, dan dia menolak untuk makan
siang bersama atau sekedar duduk di cafe menikmati es krim. Dia bilang, dia
cuma mau muter-muter aja sama aku. Dia bilang dia pengen ngobrol, dan kami
tetap dalam mobil.
Aku menurut,
aku menjalankan mobilku tak tentu. Berjalan menjauh meninggalkan kantornya,
sembari bertanya-tanya dalam hati, apa yang ingin dikatakan bidadari ini
padaku.
Aku melihat
Alisha tampak gusar, seperti ada sesuatu yang berusaha dia tahan tapi harus dia
katakan. Aku meraih sebelah tangannya dan meremasnya pelan. Tapi dia menarik
tangannya dari genggamanku. Sesuatu yang tidak seperti biasanya dan aku semakin
tahu bahwa ada yang telah terjadi.
“Kenapa,
Al?” Akhirnya aku memberanikan diri bertanya.
Dia masih
diam, tak menjawab. All I Ask-nya Adele mengalun lembut dari Tape Mobil.
Kemudian dia memiringkan duduknya, menatapku. Berulang kali menghela nafas, hingga
akhirnya dia mengatakan sesuatu yang membuat aku menekan rem mendadak.
“Aku akan
menikah, dua minggu lagi...”
Suara
klakson panjang terdengar dari belakang mobil. Aku mengabaikannya. Kalimat yang
keluar dari mulut bidadari itu bergema memenuhi rongga kepalaku.
“Mungkin ini
saatnya kita harus mengakhiri semuanya....” Dia berkata lagi.
Lidahku
kelu. Aku berusaha menjalankan lagi mobil, tapi kali ini untuk menghentikannya
di pinggir jalan. Aku tau akan bahaya kalau aku tetap memaksa untuk menjalankan
mobil. Mendengar penjelasan yang akan keluar dari mulut bidadari ini kemudian,
akan berbahaya bagi keselamatan kami berdua.
“Aku sayang
sama kamu, Keanu. Tapi aku sadar diri...”
Bidadari itu
menangis.
“Aku bukan
wanita baik-baik yang pantas untuk mendampingi kamu...”
Hatiku
ngilu. Aku berusaha menghapus air matanya, tetapi dia menghalau tanganku.
“Jadi aku
menyerah. Mungkin kita memang ga berjodoh, dari awal harusnya kita tau. Tapi
aku gak bisa menghentikan semuanya saat masih indah. Padahal aku tau, akhirnya
akan menyakitkan..”
Dia
sesegukan. Aku berusaha meraihnya, memeluknya. Tapi lagi-lagi dia menolak.
“Al...”
“Terimakasih
ya, Keanu.... Terimakasih karena kamu sudah sayang sama aku, dan mengizinkan
aku dekat-dekat dengan kamu. Aku akan selalu bawa kamu dalam hati aku, aku akan
jaga baik-baik kenangan kita”
Hatiku
seperti disayat sembilu.
Andai aku
bisa melakukan apa saja untuk menjadikan kita nyata, Alisha... Tapi aku tidak
punya kuasa itu. Bukan kamu saja yang menyerah. Ternyata aku pun sudah kalah
tanpa sempat merasa berjuang.
“Al...” Aku
memaksa menggenggam tangannya. “Terimakasih kembali karena kamu sudah
memberikan aku kesempatan untuk menyayangi kamu dan membiarkan kamu dekat-dekat
dengan aku... Kamu adalah hal terindah yang terjadi padaku. Jangan menangis
lagi. Tuhan sudah atur segala sesuatunya dengan baik, Al. Bukan kamu yang tidak
baik buatku, tapi aku. Atau mungkin kita berdua memang tidak baik untuk satu
sama lain. Jadi, Tuhan buat kita tidak berjodoh. Jangan nangis lagi, ya...”
Aku
menghapus buliran air matanya dan dia tidak menolak. Aku raih dia dalam
pelukanku dan dia juga tidak menolak. Hatiku pilu, seperti luka yang disiram
air garam.
Suatu saat
kami berdua akan tau alasannya kenapa Tuhan tidak menginginkan kami bersama.
Dan kelak, ketika kami tahu alasan itu, aku percaya bahwa kami akan bersyukur.
***
“Sayang, ayo
kita pulang....”
Suara lembut
calon istriku lagi-lagi membuyarkan lamunanku. Aku memaksakan senyum.
Setelah
pernikahan megah bidadari itu yang tak berani aku hadiri, aku memutuskan untuk
melamar Alisha yang kini ada dihadapanku. Dan kini kami sedang mengurus segala
sesuatunya.
Aku belum
sembuh. Aku masih saja ingat bidadari itu. Dan tiap kali ingat dia, hatiku
seperti disayat sembilu. Sekarang hubungan kami berdua baik-baik saja. Masih
sering bertukar kabar, sesekali berkirim pesan. Bukan pesan bernada mesra seperti
dulu, hanya pesan biasa yang seringkali berhubungan dengan pekerjaan.
Pesan-pesan yang selalu aku hapus saat akan bertemu calon istriku. Sekalipun
tidak ada yang aneh dari pesan-pesan itu. Aku hanya tidak ingin calon istriku
tau bahwa ada wanita lain yang aku cintai setengah mati, yang namanya sama
dengan nama dia.
Semoga kamu
bahagia, bidadariku.
Karena aku
bahagia kalo kamu bahagia.
Doakan aku,
ya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar