22 Agustus 2016

Diantara Kalian (part 1)



***
From : Alisha
Lagi dimana, K??

Handphoneku bergetar, satu bbm chatt baru masuk. Aku melihat sekilas, kemudian menekan agak lama pada chatt tersebut. Tanpa membacanya, aku memilih tombol Akhiri Obrolan.
Orang bilang, selingkuh dimulai dari saat kita menghapus pesan darinya. Namanya Alisha, aku bertemu dia pada suatu periode pemeriksaan rutin dikantorku. Dia adalah salah satu dari tim pemeriksa. Sampai detik ini aku tidak mengerti, bagaimana bisa ada bidadari yang menyamar menjadi auditor. Seperti dia.
Pelan, ingatanku kembali pada hari dimana pertama kali aku bertemu dia. Untuk ukuran tim auditor, Alisha rasanya terlalu cantik. Bukan berarti tidak ada auditor yang cantik, ya. Tapi Alisha tidak tampak seperti auditor. Dia baik, ramah, murah senyum, tutur katanya sopan. Alih-alih seperti tim yang lain yang selalu memasang wajah jutek dan jarang tersenyum, Alisha benar-benar seperti bidadari.
Tok. Tok.
Kaca jendela mobilku diketuk. Lamunanku buyar. Gadis manis berambut lurus sebahu dengan kacamata membingkai mata indahnya tampak diluar.
Aku tersenyum, membuka kunci pintu mobil dan membiarkan gadis manis itu masuk dan duduk di sebelahku.
“Hai, sayang....” Dia mendaratkan ciuman ringan di pipi kiriku.
Sesuatu berdesir dibalik dadaku.
“Aku udah telpon Tante April, ngabarin kalo hari ini kita jadi kesana untuk lihat dummy undangan dan souvenirnya...” Gadis manis itu nyerocos, menjelaskan tujuan kami hari ini.
Namanya Alisha, calon istriku. Bukan bidadari yang bbm-nya ku hapus tanpa kubaca tadi. Tapi nama panggilan mereka memang sama. Entah kenapa, semesta nampaknya sedang bermain-main denganku.
“Sayang... Kamu kenapa? Kok ngelamun?” Suara lembut itu lagi-lagi membuyarkan lamunanku.
Aku menghela nafas, tersenyum, mengelus pelan rambut lurusnya. “Gak papa, sayang. Kamu cantik hari ini....”
Dia tersipu. Manis sekali.
“Jalan sekarang?” tanyaku memastikan.
Dia mengangguk.
Mobil berjalan pelan meninggalkan rumahnya. Kurang dari tiga bulan lagi, gadis ini akan resmi menjadi istriku. Harusnya aku bahagia, bukan?

***
“Kamu sama dia sudah lama pacaran?”
Pada pertemuan kami yang kesekian, yang bahkan tak pernah berani kami sebut kencan, bidadari itu bertanya padaku. Iya. Dia tahu bahwa aku punya pacar. Dia tahu sejak pertama kali kami berteman di BBM. Aku menulis nama itu pada status BBM-ku. Alih-alih menjauh, kami malah semakin dekat.
Aku meniup-niup pelan gelas berisi kopi yang masih mengepul di hadapanku. “Sekitar delapan bulanan...” jawabku kemudian.
“Wait... delapan bulan?” Dia tampak berfikir, menghitung dengan jemari lentiknya. “Berarti bulan Februari?”
Aku mengangguk. Menatap lurus kedalam mata bulat cokelatnya yang tampak meluluhkan itu. Hari itu dia datang dengan terusan selutut berwarna putih susu bergambar bunga-bunga berwarma kuning cerah. Rambut panjangnya dia ikat satu, memperlihatkan leher jenjangnya yang selalu membuatku meneguk ludah.
“Ya ampun...” Dia memekik tertahan, menutup mulutnya, tampak sekali dia terkejut. “Dan kita ketemu maret, ya?” tanyanya kemudian.
Aku mengangguk, “Akhir maret tepatnya. Sebulan setelah aku resmi sama dia...” Aku menjelaskan.
Dia menatapku dengan tatapan yang tak bisa aku tebak. Cukup lama, hingga akhirnya dia mengalihkan tatapannya dan mulai menyuap es krim strawberry dihadapannya. Es krim strawberry memang favoritenya.
“Kalo kamu sama dia, udah lama?” gantian aku yang bertanya.
Karena sama sepertiku, bidadari itu juga sudah ada yang memiliki. Bahkan aku tau dari sejak pertama kali kami bertemu. Rekan kerjaku mendapati tatapan terpesona yang aku arahkan padanya, tanpa sempat bertanya, dia sudah menjelaskan bahwa bidadari itu sudah ada yang memiliki. Lagian, mana mungkin bidadari secantik dia masih single, bukan?
“Tujuh tahun...” jawabnya pelan, tapi tegas.
“Tujuh... tahun?” Aku mengulang, terbata.
Dia mengangguk. Ada bekas es krim disudut bibirnya. Aku mengambil tissue dan mengelap bekas es krim itu. Suasana mendadak hening, dia menatapku lama. Aku tersenyum.
“Sejatuh cinta apapun aku sama kamu, Al.... kamu harus tetap sama dia, ya...” kataku kemudian.
“Kenapa?”
“Karena gak mungkin aku merusak hubungan yang sudah terjalin begitu lama, kan?”
“Bukan karena kamu dan dia akan segera menikah?”
Aku diam, memilih tidak menjawab.
“Aku harusnya menikah mei tadi. Tapi terus aku ketemu kamu, mendadak aku ragu. Ternyata kamu udah punya pacar. Terus tau-tau aja kita udah sampe disini...”
Aku menyeruput kopiku yang masih agak panas. Tenggorokan seperti disiram air es, kelu. Maka aku butuh sesuatu yang hangat untuk mencairkannya.
“Tapi sekarang aku sadar... kita memang ga diciptakan untuk berjodoh...”
Aku meraih sebelah tangannya dan menggenggamnya erat. Darahku berdesir. Debaran aneh yang hanya ada setiap kali aku bersama dia ini kembali datang memenuhi rongga dadaku. Aku memejamkan mata, mencari pilihan kalimat yang pas.
“Keanu...” Dia menyebut namaku, pelan.
“Mungkin benar bahwa memang ada dua orang yang diciptakan untuk saling sayang, tapi tidak untuk bersama...” kataku pelan. “Seperti kita ini” Dadaku sesak.
 “Apa ini saatnya kita untuk berhenti?” Dia menatapku sayu.
“Apa boleh kalau kita terus kayak gini sampai salah satu dari kita menikah?” tanyaku penuh harap.
Bidadari itu menatapku lama. Tatapan yang lagi-lagi tidak bisa kuartikan. Aku harap-harap cemas, sekaligus menyiapkan hati kalau memang bidadari itu mau mengakhiri semuanya saat ini.
Tapi kemudian, diluar dugaanku, dia membalas genggaman tanganku erat. Hangat. Kemudian dia mengangguk dan tersenyum.
Aku menghela nafas lega. Aku tidak butuh penjelasan apa-apa. Anggukan itu sudah lebih dari cukup. Aku meraih tangannya lebih dekat dan mencium punggung tangannya pelan. Wangi moringa menguar dari sana, parfume kesukaannya yang juga aku sukai.
Diantara kalian dari d’massive mengalun lembut dari speaker cafe, seakan menjadi backsound pertemuan yang tidak pernah berani kami namakan kencan kali itu.

***
“Sayang, menurut kamu bagus yang ini apa yang ini?” Gadis manis itu mengacungkan dua buah dummy undangan kehadapanku.
Aku mencoba memusatkan perhatianku pada kedua undangan itu. Dua-duanya dengan nuansa perak dan biru. Hanya saja yang satu dominasi perak, yang satu dominasi biru. Aku terkesikap membaca nama yang terukir manis pada bagian depan undangan itu. Dicetak tebal dengan huruf timbul. Alisha dan Keanu.
Aku setengah berharap undangan itu adalah undangan pernikahan aku dan Alisha, bidadari yang menyamar jadi auditor itu.
“Sayang?”
“Eh... Iya...”
“Kamu kenapa sih ngelamun terus? Lagi capek, ya?” calon istriku itu berdiri tepat dihadapanku, wajahnya menunjukkan kekhawatiran.
Aku tersenyum, mengelus pelan pipinya. Kemudian meraih dua buah undangan yang tadi dia tunjukkan padaku.
“Kalo kamu suka yang mana?” aku balik bertanya.
“Aku suka yang ini, sayang....” Dia menunjuk undangan dengan dominan warna biru.
Aku mengelus pelan bagian nama yang diukir dengan warna perak. Hatiku seperti teriris.
“Aku ikut mana yang kamu suka aja, sayang...” Kataku, menyerahkan contoh undangan itu kembali padanya dan mencium pelan atas kepalanya.
Dia tersenyum, kemudian membawa contoh undangan itu kembali pada vendor. Kulihat tampak dia dan vendor undangan sedang berbincang serius, beberapa kali dia menunjuk-nunjuk bagian tertentu pada undangan.
Pikiranku kembali menerawang jauh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Blog Design ByWulansari