***
From : Alisha
Lagi dimana, K??
Handphoneku
bergetar, satu bbm chatt baru masuk. Aku melihat sekilas, kemudian menekan agak
lama pada chatt tersebut. Tanpa membacanya, aku memilih tombol Akhiri Obrolan.
Orang
bilang, selingkuh dimulai dari saat kita menghapus pesan darinya. Namanya
Alisha, aku bertemu dia pada suatu periode pemeriksaan rutin dikantorku. Dia
adalah salah satu dari tim pemeriksa. Sampai detik ini aku tidak mengerti,
bagaimana bisa ada bidadari yang menyamar menjadi auditor. Seperti dia.
Pelan,
ingatanku kembali pada hari dimana pertama kali aku bertemu dia. Untuk ukuran
tim auditor, Alisha rasanya terlalu cantik. Bukan berarti tidak ada auditor
yang cantik, ya. Tapi Alisha tidak tampak seperti auditor. Dia baik, ramah,
murah senyum, tutur katanya sopan. Alih-alih seperti tim yang lain yang selalu
memasang wajah jutek dan jarang tersenyum, Alisha benar-benar seperti bidadari.
Tok. Tok.
Kaca jendela
mobilku diketuk. Lamunanku buyar. Gadis manis berambut lurus sebahu dengan
kacamata membingkai mata indahnya tampak diluar.
Aku
tersenyum, membuka kunci pintu mobil dan membiarkan gadis manis itu masuk dan
duduk di sebelahku.
“Hai,
sayang....” Dia mendaratkan ciuman ringan di pipi kiriku.
Sesuatu
berdesir dibalik dadaku.
“Aku udah
telpon Tante April, ngabarin kalo hari ini kita jadi kesana untuk lihat dummy undangan dan souvenirnya...” Gadis
manis itu nyerocos, menjelaskan tujuan kami hari ini.
Namanya
Alisha, calon istriku. Bukan bidadari yang bbm-nya ku hapus tanpa kubaca tadi.
Tapi nama panggilan mereka memang sama. Entah kenapa, semesta nampaknya sedang
bermain-main denganku.
“Sayang...
Kamu kenapa? Kok ngelamun?” Suara lembut itu lagi-lagi membuyarkan lamunanku.
Aku menghela
nafas, tersenyum, mengelus pelan rambut lurusnya. “Gak papa, sayang. Kamu
cantik hari ini....”
Dia tersipu.
Manis sekali.
“Jalan
sekarang?” tanyaku memastikan.
Dia
mengangguk.
Mobil
berjalan pelan meninggalkan rumahnya. Kurang dari tiga bulan lagi, gadis ini
akan resmi menjadi istriku. Harusnya aku bahagia, bukan?
***
“Kamu sama
dia sudah lama pacaran?”
Pada
pertemuan kami yang kesekian, yang bahkan tak pernah berani kami sebut kencan,
bidadari itu bertanya padaku. Iya. Dia tahu bahwa aku punya pacar. Dia tahu
sejak pertama kali kami berteman di BBM. Aku menulis nama itu pada status
BBM-ku. Alih-alih menjauh, kami malah semakin dekat.
Aku
meniup-niup pelan gelas berisi kopi yang masih mengepul di hadapanku. “Sekitar
delapan bulanan...” jawabku kemudian.
“Wait...
delapan bulan?” Dia tampak berfikir, menghitung dengan jemari lentiknya.
“Berarti bulan Februari?”
Aku
mengangguk. Menatap lurus kedalam mata bulat cokelatnya yang tampak meluluhkan
itu. Hari itu dia datang dengan terusan selutut berwarna putih susu bergambar
bunga-bunga berwarma kuning cerah. Rambut panjangnya dia ikat satu,
memperlihatkan leher jenjangnya yang selalu membuatku meneguk ludah.
“Ya
ampun...” Dia memekik tertahan, menutup mulutnya, tampak sekali dia terkejut.
“Dan kita ketemu maret, ya?” tanyanya kemudian.
Aku mengangguk,
“Akhir maret tepatnya. Sebulan setelah aku resmi sama dia...” Aku menjelaskan.
Dia
menatapku dengan tatapan yang tak bisa aku tebak. Cukup lama, hingga akhirnya
dia mengalihkan tatapannya dan mulai menyuap es krim strawberry dihadapannya.
Es krim strawberry memang favoritenya.
“Kalo kamu
sama dia, udah lama?” gantian aku yang bertanya.
Karena sama
sepertiku, bidadari itu juga sudah ada yang memiliki. Bahkan aku tau dari sejak
pertama kali kami bertemu. Rekan kerjaku mendapati tatapan terpesona yang aku
arahkan padanya, tanpa sempat bertanya, dia sudah menjelaskan bahwa bidadari
itu sudah ada yang memiliki. Lagian, mana mungkin bidadari secantik dia masih
single, bukan?
“Tujuh
tahun...” jawabnya pelan, tapi tegas.
“Tujuh...
tahun?” Aku mengulang, terbata.
Dia
mengangguk. Ada bekas es krim disudut bibirnya. Aku mengambil tissue dan
mengelap bekas es krim itu. Suasana mendadak hening, dia menatapku lama. Aku
tersenyum.
“Sejatuh
cinta apapun aku sama kamu, Al.... kamu harus tetap sama dia, ya...” kataku
kemudian.
“Kenapa?”
“Karena gak
mungkin aku merusak hubungan yang sudah terjalin begitu lama, kan?”
“Bukan
karena kamu dan dia akan segera menikah?”
Aku diam,
memilih tidak menjawab.
“Aku
harusnya menikah mei tadi. Tapi terus aku ketemu kamu, mendadak aku ragu.
Ternyata kamu udah punya pacar. Terus tau-tau aja kita udah sampe disini...”
Aku
menyeruput kopiku yang masih agak panas. Tenggorokan seperti disiram air es,
kelu. Maka aku butuh sesuatu yang hangat untuk mencairkannya.
“Tapi
sekarang aku sadar... kita memang ga diciptakan untuk berjodoh...”
Aku meraih
sebelah tangannya dan menggenggamnya erat. Darahku berdesir. Debaran aneh yang
hanya ada setiap kali aku bersama dia ini kembali datang memenuhi rongga
dadaku. Aku memejamkan mata, mencari pilihan kalimat yang pas.
“Keanu...”
Dia menyebut namaku, pelan.
“Mungkin
benar bahwa memang ada dua orang yang diciptakan untuk saling sayang, tapi
tidak untuk bersama...” kataku pelan. “Seperti kita ini” Dadaku sesak.
“Apa ini saatnya kita untuk berhenti?” Dia menatapku
sayu.
“Apa boleh
kalau kita terus kayak gini sampai salah satu dari kita menikah?” tanyaku penuh
harap.
Bidadari itu
menatapku lama. Tatapan yang lagi-lagi tidak bisa kuartikan. Aku harap-harap
cemas, sekaligus menyiapkan hati kalau memang bidadari itu mau mengakhiri
semuanya saat ini.
Tapi
kemudian, diluar dugaanku, dia membalas genggaman tanganku erat. Hangat.
Kemudian dia mengangguk dan tersenyum.
Aku menghela
nafas lega. Aku tidak butuh penjelasan apa-apa. Anggukan itu sudah lebih dari
cukup. Aku meraih tangannya lebih dekat dan mencium punggung tangannya pelan.
Wangi moringa menguar dari sana,
parfume kesukaannya yang juga aku sukai.
Diantara
kalian dari d’massive mengalun lembut dari speaker cafe, seakan menjadi
backsound pertemuan yang tidak pernah berani kami namakan kencan kali itu.
***
“Sayang,
menurut kamu bagus yang ini apa yang ini?” Gadis manis itu mengacungkan dua
buah dummy undangan kehadapanku.
Aku mencoba
memusatkan perhatianku pada kedua undangan itu. Dua-duanya dengan nuansa perak
dan biru. Hanya saja yang satu dominasi perak, yang satu dominasi biru. Aku
terkesikap membaca nama yang terukir manis pada bagian depan undangan itu. Dicetak
tebal dengan huruf timbul. Alisha dan Keanu.
Aku setengah
berharap undangan itu adalah undangan pernikahan aku dan Alisha, bidadari yang
menyamar jadi auditor itu.
“Sayang?”
“Eh...
Iya...”
“Kamu kenapa
sih ngelamun terus? Lagi capek, ya?” calon istriku itu berdiri tepat
dihadapanku, wajahnya menunjukkan kekhawatiran.
Aku
tersenyum, mengelus pelan pipinya. Kemudian meraih dua buah undangan yang tadi
dia tunjukkan padaku.
“Kalo kamu
suka yang mana?” aku balik bertanya.
“Aku suka
yang ini, sayang....” Dia menunjuk undangan dengan dominan warna biru.
Aku mengelus
pelan bagian nama yang diukir dengan warna perak. Hatiku seperti teriris.
“Aku ikut
mana yang kamu suka aja, sayang...” Kataku, menyerahkan contoh undangan itu
kembali padanya dan mencium pelan atas kepalanya.
Dia
tersenyum, kemudian membawa contoh undangan itu kembali pada vendor. Kulihat
tampak dia dan vendor undangan sedang berbincang serius, beberapa kali dia
menunjuk-nunjuk bagian tertentu pada undangan.
Pikiranku
kembali menerawang jauh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar