28 Juli 2012

seperti seharusnya


Ku terbiasa tersenyum tenang walau hatiku menangis
kaulah cerita tertulis dengan pasti.. selamanya dalam fikiranku...
peluk tubuhku.. untuk sejenak dan biarkan kita memudar dengan pasti..
biarkan semua seperti seharusnya.. takkan pernah menjadi milikku..
lupakan semua, tinggalkan ini. ku kan tenang, dan kau kan pergi...

***
Malam ini kamu datang lagi. Sehabis isya, seperti biasa. Lalu kita akan menghabiskan waktu berjam-jam lamanya berbincang tentang apa saja. Kuliah, teman, keluarga. Apa saja. Asal bukan cinta.
“Ah kamu mah enak, paling semester depan juga kuliahnya udah kelar. Lah aku?” kamu mengacak rambut gondrongmu menjadi nampak lebih berantakan.
Aku tersenyum, melirik sekilas kearahmu.
“Terus aku gimana dong kalo nanti kamu udah lulus?” tanyamu.
Aku mengernyit heran, melirikmu sekali lagi. Kamu tengah menengadah menatap langit. Aku mengikuti pandangan matamu kearah langit. Banyak bintang bertaburan disana. Kamu memang penyuka bintang.
“Siapa yang bakal ngingetin aku ngerjain tugas? Siapa juga yang bakal dobelin fotokopian materi buat aku?” katamu, masih menatap langit.
Aku tersenyum. Segumpalan kata memberontak ingin keluar tapi tertahan di kerongkongan. Ah, sudahlah. Bukankah kita sudah sama-sama menyepakati untuk mengabaikan apa yang sebaiknya diabaikan? Toh selama ini semuanya sudah mampu membuat hidup kita terasa wajar dan baik-baik saja. Iya kan?
Maka. Sekuat tenaga. Aku dorong kembali kata-kata yang mendesak keluar itu, agar tetap berada pada tempatnya. Didalam hatiku.
Handphone-mu berbunyi. Kamu buru-buru mengeluarkan benda mungil itu dari dalam kantongmu. Matamu membesar melihat nama penelpon yang tertera di layar. Melihat gelagatmu, aku sudah tahu siapa si penelpon itu.
“Iya, sayang?” sapamu ketika handphone menempel di telinga.
Aku meneguk ludah. Tersenyum maklum.
“Lagi dihatimu....” aku mendengarmu berkata sambil tertawa renyah. Ah pastilah dia yang menelpon itu menanyakan sedang dimana kamu sekarang. Iya kan?
“Apa? Iya... aku nggak tidur malem-malem. Iya kamu tidur duluan, ya. Aku belum ngantuk... Apa? Iya, sayang. Nanti aku nyusul. Oke. Sweet dream, princess... Aku sayang kamu...”
Dadaku bergemuruh. Tanpa perlu kamu beritahu, aku tahu siapa penelpon itu. Siapa lagi yang akan kamu bisikan kata mesra, yang kamu panggil princess, dan kamu katakan tiga kata ajaib itu?
“Alia?” tanyaku pelan, sudut mataku memanas.
Kamu tersenyum kikuk. Menggaruk kepalamu yang aku tau betul pasti tidak gatal.
Suasana menjadi canggung. Selalu begitu, setiap kali kekasihmu itu usai menelponmu. Kenapa sih dia harus menelponmu malam ini? Bukankah besok malam kamu pasti akan datang mengunjunginya? Bukankah dia memiliki hampir seluruh waktumu kecuali malam ini? Kenapa juga waktu yang singkat yang aku punya untuk bersamamu ini harus diganggunya juga?
Sudut mataku memanas. Gumpalan bening berdesakan ingin keluar. Aku menahannya sekuat tenaga.
“Udah malem. Aku... Aku pulang dulu, ya?” katanya canggung.
Aku menghela nafas. Waktu yang aku punya dengannya hanya sedikit, kenapa harus diisi dengan kecanggungan yang seperti ini?
“Ih aku kan masih kangen...” kataku manja.
Kamu tergelak. Aku memaksakan senyum sebaik mungkin. Menyimpan rapat-rapat kesedihan yang tadi sempat datang. Sudahlah... Sudah biasa... Aku sudah kebal...
“Kamu ini....” Kamu menarik tubuhku pelan, memelukku dengan erat. Nyamaaaaaan sekali rasanya. Andai aku bisa merasakan itu setiap saat aku mau.
“Aku sayang sama kamu...” aku berbisik pelan.
Kamu melepaskan pelukanmu. Menjauh.
Crap!
Bukankah kita sudah sepakat untuk tidak pernah membicarakan hal-hal berbau cinta? Ah...
Kamu menatapku, tersenyum. Aku menunduk.
“Aku pulang dulu ya?” katamu kemudian.
Aku diam. Membiarkan kamu memelukmu sekali lagi. Dan tidak menahan kamu yang mulai bergerak menuju motormu, mengenakan helm, dan kemudian berlalu pergi.
Aku menghela nafas sekali lagi. Menatap lorong depan kostan yang sudah sepi. Kamu sudah berlalu, dan aku masih terpaku.
Ah... Biarlah semua seperti seharusnya... Kamu toh nggak akan pernah menjadi milikku...




***


Note :
* ditulis sambil mendengarkan "Walau Habis Terang"-nya Peterpan
* Bukan kisah nyata! Hhahahaa
* Kalo nulis cerita beginian setahun yang lalu, pasti mewek.. apalagi backsound-nya Walau Habis Terang. #IfYouKnowWhatIMean :')

4 komentar:

  1. Hihi! Gara-gara baca ini aku jadi terinspirasi nulis cerpen yang berdasarkan sebuah lagu juga Dhe. Ini cerpennya : http://whiteowlnight.blogspot.com/2012/07/diary-anonim.html minta reviewnya yah ;P

    BalasHapus
  2. Hhaha cerpen2 kayak gini dulu khas aku banget, steph! Orang yang saling sayang tapi gabisa saling memiliki krna satu dan lain hal, termasuk salah satunya udah punya pacar :)))

    BalasHapus
  3. Hahahah, iya Dhe ... dari dulu aku susah banget mau bikin cerita romantis. Tadi nyoba, ealah malah jadi cerita serem >_<" mesti banyak belajar ni dari dirimu XD

    BalasHapus
  4. Kan masing2 orang punya ciri khas, steph.. aku dg cerita begini, kamu dg yg serem2 ahahahahaa semangat ↖(^o^)↗

    BalasHapus

Blog Design ByWulansari