21 Mei 2012

Fathir's Side


 ***
Aku memperhatikan wanita manis yang sedang tertidur pulas di sebelahku ini. Namanya Aya. Soraya. Dan dia kekasihku.
Keteguhan hatinya dalam menungguku, patut aku acungi empat jempol. Dua tahun tanpa jeda, dan tanpa putus asa. Meski berulang kali aku menguji ketahanannya dengan berbagai macam cara mengacuhkannya, tapi dia tetap saja kekeuh. Berulang kali aku mengabaikan perhatian kecil darinya, bukannya menyerah, dia malah menambah porsi perhatian itu lebih besar kepadaku.
Orang bilang Aya merendahkan harga dirinya sebagai wanita. Wanita semestinya dikejar, bukan mengejar. Aya hanya tersenyum menanggapinya. Dia tak pernah peduli. Dia bahkan tak peduli waktu beberapa orang mengejeknya ganjen, karena usahanya yang begitu maksimal dalam mendekatiku. Ah, kalau Aya tak melakukan usaha sekeras itu, aku belum tentu akan luluh.
Aku mencium lembut jidatnya. Dia tak bergerak.
Bahkan sekarang, setelah akhirnya kami resmi pacaran, lagi-lagi kekuatan hatinya harus aku acungi jempol. Entah berapa banyak wanita diluar sana yang mengejek dan mengganggu hidupnya. Entah berapa banyak wanita yang kemudian bersikap tak bersahabat padanya hanya karena dia menyandang status sebagai kekasihku. Ah, iya. Aku beritahu ya... Aku ini lelaki idaman wanita, jadi jangan heran kalo diluar sana ada banyak yang mengantre untuk menjadi kekasihku. Haha.
Tapi pilihanku sudah jatuh pada Aya. Karena yang aku cari bukanlah sekedar wanita yang bisa dipacari. Tetapi... aku mencari wanita yang bisa kujadikan calon istri. Sudah bukan masanya lagi, diumur segini, masih saja sibuk bergonta-ganti kekasih.
Jadi kenapa Aya? Kenapa akhirnya pilihanku jatuh pada Aya sementara diluar sana ada begitu banyak wanita yang mengantre dan menginginkan posisi yang sama? Aya yang bukan anggota gank ngetop dikampus. Aya yang sederhana. Aya yang nggak bisa masak. Aya yang manis tapi tidak pernah berusaha menonjolkan kemanisannya itu. Aya yang biasa-biasa saja, kata sahabatku.
Tapi Aya punya segalanya yang lelaki butuhkan dalam sosok istri. Aya perhatian. Aya penurut, tak sekalipun dia membangkang ucapanku. Aya pintar, pengetahuannya luas, kami bisa berbicara banyak hal berjam-jam dan berdebat panjang tetang suatu topik. Aya yang pengalah, mungkin karena dia anak tua jadi sudah terbiasa mengalah dengan adik-adiknya. Aya yang bisa langsung dekat dengan tiga keponakanku bahkan saat pertama kali dia bertemu mereka. Dan satu hal yang pasti, Aya menyayangiku dan dia selalu mendiskusikan apapun padaku sebelum akhirnya mengambil keputusan.
Aku mengelus pelan rambutnya. Dia masih tertidur pulas. Perjalanan yang normalnya hanya enam jam itu kami habiskan nyaris 13 jam karena macet. Aya pasti capek banget. Aku tau Aya berharap bisa langsung merebahkan badannya di kasur begitu travel yang kami tumpangi berhenti tepat didepan gerbang rumahku. Tapi dia menahan lelahnya dan masih menyisakan hingga dua jam untuk mengobrol dengan mamahku.
Ketika akhirnya mamah menyuruku mengantarkan Aya kekamar untuk istirahat pun, si kecil Akbar langsung mendekatinya dan merengek minta dibacakan dongeng. Ah, ya... Satu lagi yang aku kagumi dari Aya. Dia pintar mendongeng. Anak kecil manapun akan duduk diam dan terpesona mendengarkan dia berdongeng. Jangankan anak kecil, aku pun begitu. Aku sudah melarang dan mengatakan pada Akbar bahwa Tante Aya capek, mau istirahat, baca dongengnya bisa besok-besok. Tapi Akbar tetap merengek. Dan Aya nggak tega melihatnya. Meski capek, akhirnya Aya mengajak Akbar masuk kekamarnya dan membacakan beberapa dongeng hingga Akbar tertidur. Barulah kemudian Aya menyusul tidur.
Aya memang punya agenda rutin berkunjung kerumahku setiap sebulan sekali. Menginap. Dan mendekatkan diri dengan keluargaku. Mamah yang meminta. Aku tau sebenarnya Aya segan. Tapi sifat supelnya membuat dia membaur dengan cepat dalam keluargaku. Seperti orang yang sudah kenal bertahun-tahun lamanya. Aya memang selalu tau caranya mencairkan suasana. Pengetahuannya yang luas akan banyak hal membuat dia ‘nyambung’ untuk mengobrol dengan mamah, papah, dan kakak-kakakku dalam topik apapun.
Aku masih mengelus pelan rambutnya. Aya nampak jutaan kali lipat lebih cantik saat tertidur. Wajahnya yang biasanya tersapu make-up minimalis itu kini polos tanpa make-up. Gemas. Sekali lagi kucium jidatnya. Aya masih tak bergerak. Dia nyenyak sekali.
“Thir?” terdengar suara berat keibuan mengejutkanku. Aku menoleh kearah pintu dan mendapati mamah berdiri disana menatapku.
“Iya?”
“Kamu belum tidur?” tanya mamah, berjalan masuk dan mendekat kearahku.
Aku menggeleng. “Masih kangen sama Aya. Mau jagain dia tidur aja...”
Mamah tersenyum kecil. “Masih kangen? Padahal disana ketemu tiap hari. Mestinya mamah yang masih kangen sama dia.”
Aku tertawa.
“Kamu baik-baik ya sama dia...” kata Mamah pelan, tapi aku mendengarnya. Aku menatap mamah meminta penjelasan dari kalimatnya tadi. Mamah balas menatapku sambil tersenyum. “Mamah mau dia jadi anak mamah...” lanjut mamah.
Aku tersenyum lebar. Aku tau kemana arah omongan mamah. “Pasti, Mah. Pasti. Mamah jangan khawatir...”
“Jangan kelewat manja, nanti Aya capek ngeladenin kamu...” Mamah duduk disebelahku dan ikut menatap Aya yang nampak begitu pulas.
Aku tersenyum kecil.
“Kuliahnya buruan di selesain, biar bisa cepet cari kerja terus ngelamar Aya...”
Aku masih tersenyum. Masih menatap Aya yang tertidur.
“Nanti kalo kelamaan, Aya nya keburu dilamar orang lain loh...” Mamah menjawil hidungku.
Aku tertawa.
“Pokoknya kamu baik-baik sama dia, ya?” Mamah menggenggam tanganku. “Janji?” kata Mamah melanjutkan.
Aku tersenyum, menghela napas, dan mengangguk mantap. “Mamah doain aja pokoknya, ya!”
Mamah balas tersenyum. “Ya udah, Mamah tidur dulu. Kamu jangan tidur malem-malem. Itu si Akbar digendong terus anter kekamarnya, ya...”
Aku mengangguk. Mamah bangkit dari duduknya dan berjalan keluar kamar. Sepeninggalan Mamah, kupandangi sekali lagi Aya yang sedang tertidur pulas.
“Jangan lelah meladeni aku yang manja ya, sayang... Jangan lelah menunggu aku...” Aku  berbisik pelan sambil mengelus rambutnya penuh sayang.
Ayaku masih tak bergerak. Masih pulas dalam tidurnya. Aku beranjak dari sisinya, menuju Akbar, menggendong balita itu dan bergerak keluar dari kamar Aya.
“Belum saatnya tidur bareng, aku pindah kekamarku dulu, ya, sayang...” Batinku, tersenyum geli, dan melangkah meninggalkan kamar Aya.

------
Another Story of Fathir and Soraya #draft

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Blog Design ByWulansari