8 Maret 2013

The Proposal

Aku selalu menanti kalimat itu keluar dari mulutnya. Selalu. Bahkan tak jarang aku membayangkan momen seperti apa yang akan terjadi kelak. Satu kalimat sederhana tapi berarti segalanya. Aku bahkan sering membayangkan bagaimana ekspresi mukanya ketika mengatakan itu padaku, kelak.

Tapi sama sekali tak pernah aku membayangkan bahwa dia akan melakukannya disini. Well, tidak juga membayangkan bahwa akan secepat ini.

Rumah dia terdiri dari dua lantai, di lantai dua, terdapat dua kamar yang saling berhadapan. Biasanya, aku menempati kamar belakang setiap kali berkunjung kesini. Kamar depan jarang ditempati, katanya. Aku bahkan tidak pernah tau bagaimana bentuk bagian dalam kamar depan itu.

Hingga malam ini dia mengajakku kesana, dan mengatakan satu kalimat ajaib itu padaku. Mengatakan atau bertanya ya tepatnya? :')

"Tumben?" Tanyaku ketika dia mengajakku kesana.

Dia hanya menjawab dengan senyuman, tangannya tetap menggenggam erat tanganku dan membimbingku pelan.

Aku melangkahkan kaki memasuki kamar itu. Rapi. Wangi. Bersih. AC di ujung ruangan menyala sehingga ruangan terasa sejuk. Dipojokan, terdapat rak tinggi yang masih kosong.

"Nanti buku-buku kamu susun rapi disitu, ya.." katanya menunjuk rak tinggi itu.

Aku mengernyit bingung. Menatapnya heran penuh tanya. Dia tak menjawab. Lagi-lagi hanya tersenyum.

"Ini kamarnya baru di dekor ulang?" Tanyaku. Rasanya hidungku menangkap wangi cat baru di sela sejuknya AC.

Lagi, dia hanya tersenyum.

Kemudian dia melangkahkan kakinya menuju kasur yang berada tepat di tengah ruangan. Diletakkan sedemikian rupa dengan back groud kayu hitam di lapisi kaca. Di sudut kiri kanannya ada lampu tidur yang menyorot tempat ke arah back ground kasur itu.

"Disini nanti bisa majang banyak foto. Terus kalo mau tidur, lampu utamanya di matiin..." dia memencet saklar lampu. Ruangan gelap seketika, tapi sinar lampu sorot itu nampak indah. "Ini lampunya berfungsi ganda", dia menunjuk lampu sorot. "Bisa buat lampu tidur, juga buat nerangin foto-fotonya.. "

Aku keheranan. Mendengarkan dia menjelaskan satu per satu. Bermacam pertanyaan berkecamuk di kepalaku.

"Nah sekarang kamu sini... duduk sini..." dia membimbing badanku dan memerintahkanku duduk di ujung kasur, menghadap ke jendela yang tertutup tirai tebal berwarna biru muda.

Aku menurut. Mendudukkan badanku ditempat yang dia mau. Dia tersenyum. Beranjak menuju jendela dan memegang salah satu ujung tirainya.

"Siap?" Tanyanya.

Aku hanya menatapnya bingung.

Dia menarik salah satu ujung tirai hingga tirai terbuka dengan maksimal. Terpampang jelas langit malam di luar jendela, ada banyak bintang bertaburan. Aku bisa melihatnya dengan jelas.

Aku mendekap mulut dengan tanganku. Kaget.

"Sayang..." aku kehilangan kata-kata

Dia tersenyum. Berjalan mendekat. Berjongkok tepat dihadapanku. Satu tangannya memegang lututku, sementara tangan lainnya berusaha mengambil sesuatu dari dalam kantong.

Aku menunggu apa yang akan dia lakukan selanjutnya. Jantungku berdegup kencang.

Akhirnya keluar juga sesuatu dari dalam kantongnya. Kotak kecil berwarna merah menyala. Dan dia membukanya, lalu menyodorkannya ke arahku.

"Please. Jangan bilang enggak, ya..."

"...."

"Will you marry me?"

Lagi, aku mendekap mulut dengan tanganku. Tercengang. Haru. Segala jenis perasaan bercampur aduk. Dia baru saja mengatakannya. Dia...

Aku menitikkan air mata haru. Bahagia. Menatap wajahnya yang menunggu jawabanku dengan penuh harap. Sebelum akhirnya menganggukan kepala.

Dia tersenyum lebar, memasangkam cincin itu ke jari manisku.

"Alhamdulillah. Lega deh aku..." katanya kemudian bangkit dan duduk di sampingku. Mencium sayang keningku.

Aku masih kehilangan kata-kata.

Tiba-tiba pintu kamar terkuak. Menyusul masuk seorang wanita setengah baya tersenyum lebar.

"Tante.. "

"Mulai sekarang panggilnya mama dong..."

"Eh?"

"Hahaha. Jadi kapan mama sama papa bisa kerumah kamu? Ketemu orang tua kamu, sayang..."

Duh, Gusti. Aku mencubit pelan lenganku. Sakiiit. Ini bukan mimpi dong. Jadi ini beneran.

Aahhh. Aku berlari kearah wanita cantik yang akan aku panggil mamah itu. Memeluknya dengan erat. Sudut mataku memanas saat tangan itu mengusap pelan rambutku.

Makasih, Tuhan... Makasih... Akhirnya....

posted from Bloggeroid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Blog Design ByWulansari