31 Agustus 2012

Bank, Pagi itu

“Hai...”

“Hai...”

Dia berdiri dihadapanku. Lelaki yang pernah setengah mati aku cintai. Tersenyum seakan-akan tidak pernah ada sesuatu yang salah terjadi diantara kami. Nyaris setahun lebih kami tidak ketemu, dan kenapa sekalinya ketemu harus saat jam kerjaku?

“Selamat pagi, ada yang bisa dibantu?” aku mengucapkan kalimat template yang sudah ribuan kali aku ucapkan kepada para nasabah itu sambil memaksakan senyum selebar mungkin. Bagaimanapun juga, dia datang kesini sebagai nasabahku.

“Kita sudah lama ya nggak ketemu...” katanya tersenyum. Senyum yang masih sama sejak terakhir aku bertemu dengannya.

Gugup, ku balas senyum itu. Bank sedang sepi. Hari masih pagi, jam baru menunjukkan pukul 10.

“Aku mau transfer nih...” katanya kemudian.

Lagi-lagi aku tersenyum. Kemudian menanyakan bank tujuan, nominal transfer, serta nomor rekening tujuan kepadanya.

Dia menyodorkan handphone-nya. Android Galaxy Mini berwarna putih. Aku tersentak, mau tak mau menatap kearah wajahnya.

“Semua ada disitu... Aku nggak perlu nulis-nulis dulu, kan? Bisa langsung aja, kan? Bank yang sama kok...” katanya kemudian, mengira bahwa aku kaget karena dia menyodorkan handphone bukannya malah resi transfer.

Aku menggeleng. “Handphone kita sama...” kataku.

Dia terbelalak. Mungkin tak percaya. “Again?” tanyanya.

Memoriku kembali dibawa ke beberapa tahun yang lalu, saat kami baru dikenalkan oleh salah seorang teman kami, dan kemudian menyadari ada banyak hal yang sama dalam diri kami. Handphone salah satunya.

“Yup...” Aku mengangguk. Tanganku meraih handphone-nya dan mulai mengetikkan deretan nomor rekening tujuan di komputer server-ku. “Bahkan warnanya pun sama...”

Dia tertawa pelan. “Aku pernah baca, entah dimana... There are two people who love each other but aren’t meant to be together...” katanya pelan.

Aku menyibukkan diri dengan proses transaksi. Memencet keyboard komputerku dengan lincah. Bagaimanapun, transaksi ini harus segera diakhiri.

“Mungkin itu kita...” lanjutnya, tepat saat resi transfer miliknya selesai ku cetak.

Aku tersenyum. Menyodorkan resi transfer itu ke arahnya. “Silahkan tanda tangan disini...” kataku sembari menyodorkan pena.

Dia meraih pena itu dan membaca sepintas resi transfer yang aku sodorkan. “Anyway, masih sering dengerin Avenged Sevenfold?” tanyanya.

Aku menggeleng.

“Kenapa?”

Aku melihat tangannya menggantung diatas resi transfer, belum juga menandatangani resi transfer itu.

Aku menghela nafas. “Kamu terlalu jamak didalamnya...”

Dia tertawa lagi. Kemudian kulihat tangannya mulai bergerak diatas resi transfer membubuhkan tanda tangan.

“Baiklah, silahkan tulis nama lengkap kamu, alamat, dan nomor handphone disini...” kataku menunjukkan kolom identitas pengirim.

Dia menurut, mengisi kolom identitas itu dengan tulisan tangannya yang khas. Aku bahkan masih bisa menghafal setiap lekukan tulisan itu.

“Kamu tau...” Aku sengaja menggantungkan kalimatku. Dia mengalihkan perhatiannya dari resi transfer itu kearahku. Aku balas menatapnya. Mata cokelat bulat yang selalu meneduhkan itu kini menatap dalam kearah mataku. “Aku pikir semuanya sudah hilang. Tapi ternyata, jarak hanya menetralkan segalanya saat kita nggak bertemu. Sekarang, berhadapan langsung sama kamu, aku disadarkan kalo nggak pernah ada yang hilang. Semua masih ada, lengkap, sama”

Aku melihatnya tersenyum. Senyum yang setengah mati berusaha aku hapus dari mimpi-mimpi manis tentang dia setahunan ini.

“Kamu keras kepala...” katanya, tertawa.

“Aku cuma nggak pengen bikin kamu susah...”

Sekali lagi dia tertawa, kemudian melanjutkan menulis nomor handphone-nya pada kolom identitas pengirim. Lalu menyodorkan kembali resi transfer itu ke arahku.

“Ku dengar, Tiara sudah melahirkan?” tanyaku, mengecek sekali lagi resi transfer itu kemudian membubuhkan tanda tanganku dan cap bank sebagai bukti bahwa resi transfer itu adalah bukti pengiriman yang sah.

“Iya, anakku perempuan” aku melihat ekspresi wajahnya yang berseri-seri. Syukurlah, setidaknya dia bahagia. Berarti keputusanku tepat.

“Baiklah... Ini sudah selesai...” Aku menyodorkan resi transfer itu kepadanya, menunjukkan tanda bahwa uang yang dia kirim sudah masuk ke rekening tujuan. “Ada lagi yang bisa dibantu?” tanyaku lagi-lagi dengan pertanyaan template standar teller bank.

Dia tersenyum. “Kapan-kapan kalo sempet, mainlah kerumah. Ajak dia sekalian, ya...” katanya kemudian, melipat resi transfer yang kuberikan dan memasukkannya ke dalam tas.

Aku meneguk ludah. Tanpa harus dia jelaskan, aku tahu siapa ‘dia’ yang dimaksud. Kekasihku.

Dia tersenyum sekali lagi, mengucapkan terimakasih, dan kemudian berbalik pergi.

“Tunggu...” aku memanggilnya tepat saat tangannya menyentuh gagang pintu. Dia berhenti dan menoleh kearahku. “Jaga baik-baik hatimu, ya. Aku pernah mempertaruhkan kebahagiaanku demi keutuhan hati itu...” kataku kemudian.

Dia mematung, menatapku dalam diam. Andai bisa, aku mau berlari kearahnya dan memeluknya erat-erat. Tapi Tuhan selalu tau mana yang terbaik bagi umat-Nya, dan aku percaya, apa yang terjadi padaku saat ini adalah hal-hal terbaik yang Tuhan punya untukku.

Lalu aku membiarkannya pergi, sekali lagi, dari hadapanku. Sekali lagi, tanpa sedikitpun upaya menahannya. Tuhan tidak pernah salah. Aku selalu percaya itu.


***
Based on quote :  "There are two people who love each other but aren’t meant to be together" ~ #ReadSomewhere

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Blog Design ByWulansari