***
Aku
mengaduk tak jelas gelas teh yang mengepul dihadapanku, belum setetes pun
cairannya mengaliri tenggorokanku. Padahal Keara selalu bilang, teh selalu enak
dinikmati saat hangat.
Ah,
Keara.
Aku
mengingat lagi detail awal pertemuan kami. Dia yang baru selesai lembur dan
minta ditelponkan satpam taksi, aku yang sedang berjalan menuju parkiran. Dan
tawaran mengantarnya pulang terlontar begitu saja. Awalnya dia menolak, tapi
setelah aku meyakinkan bahwa tak apa-apa akhirnya dia mau.
Kami
sudah nyaris setahun satu kantor tapi rasanya belum pernah bertegur sapa selain
bertukar senyum kalau tidak sengaja berpapasan atau bersama-sama ada dalam satu
lift. Dia cukup terkenal karena selalu mencolok dengan warna tas dan sepatunya yang
selalu matching sama warna kemeja
dalaman blazernya. Belum lagi bibir berpulas lipstik merah yang selalu
menyunggingkan senyum. Her signature.
Dan bukan satu dua laki-laki dikantor kami yang berusaha mendekatinya.
Perjalanan
pulang malam itu menjadi menyenangkan karena Keara bukan jenis wanita jaim-an
sehingga mobil terasa ramai dengan celotehnya. Kami seperti tidak kehabisan
bahan pembicaraan karena Keara seperti punya banyak hal untuk diceritakan.
Padahal malam itu adalah pertama kalinya kami mengobrol dan berada sedekat itu,
tapi rasanya seperti sudah bersahabat lama.
Malam
itu diakhiri dengan kami bertukar nomor telpon dan pin bbm saat mobilku
berhenti tepat di depan pagar rumahnya. Dan berlanjut menjadi bbm-bbm gak
penting di sela jam bekerja, telpon-telpon random setiap malam, keliling
palembang mencicipi kuliner nyaris setiap malam minggu (dan Keara bukan pula
jenis wanita yang maunya diajak makan di restoran mahal aja, dia sama sekali
tidak keberatan dan malah suka diajak makan di warung-warung tenda pinggir
jalan), dan berbagai agenda seru lainnya
setiap hari minggu (entah itu nonton bioskop, ke toko buku, nonton konser
musik, apa saja..)
Dua
tahun kebersamaan kami cukup membuat aku mengenal Keara luar dalam. Dia yang
lebih milih nggak jadi pergi daripada harus pake tas dan sepatu yang warnanya
ga matching sama baju (well, jangan
tanya sebanyak apa koleksi tas dan sepatunya Keara, ya!). Keara suka teh, dan
aku selalu suka memperhatikan cara dia meminum tehnya, menyesap sesendok demi
sesendok selagi gelas teh masih mengepulkan asap hangatnya. Keara suka membaca
novel romance dan ga suka nonton film
action yang banyak
berantem-berantemnya. Keara suka mendengarkan lagu-lagu rock. Keara gak bisa
jauh dari smartphone-nya. Keara
jarang marah, gak bisa diem kecuali lagi sakit, gak suka sayuran hijau karena
katanya mirip rumput. Keara selalu bawa tas dengan isi seabrek setiap pergi,
mulai dari bedak, tissue, lipstik, parfume, dompet, headset, charger,
blablabla. Dan yang membuatku selalu terkesima adalah Keara selalu membawa
mukena didalam tasnya, apapun keadaannya, kemanapun kami, Keara selalu
menyempatkan sholat ketika waktunya sudah tiba.
Aku
mengaduk lagi gelas tehku, masih tak berminat memindahkan setetes pun isi
didalamnya kedalam rongga mulutku.
Ah,
Keara.... Dua tahun ini terlalu indah.
Berbagai
kenangan kembali berseliweran, semacam video yang terputar jelas dikepalaku. Aku
ingat suatu hari pernah membawakan segelas teh hangat dengan irisan daun mint
ke ruang kerjanya, dia yang sedang sibuk dengan setumpuk berkas mengejar deadline
akhir bulan kemudian tersenyum sumringah, memelukku erat, dan berkata
“Kafkaaaa... kamu tau aja apa yang lagi aku butuhkan. Makasih ya, ganteng...
Andai kita ketemu tiga tahun lebih cepat, yaa...”
Drrtt....
Lamunanku
buyar terganggu getaran smartphone
yang berada tepat disebelah gelas tehku. Sebuah email masuk. Aku mengernyit
bingung.
Pelan
kuraih smartphone itu dan mendapati
nama Keara sebagai pengirim email. Aku semakin tak mengerti. Kami berjanji
bertemu disini, sore ini, Tapi Keara sudah terlambat dua jam. Keterlambatan
yang membuat pikiranku melayang kemana-mana, membawa aku menelusuri berbagai
kenangan kami. Lantas kenapa bukan dia yang datang tetapi email ini?
Email
itu cukup panjang dan aku membacanya perlahan dalam diam.
To : kafkakaf@gmail.com
Subject : <no
subject>
Dear Kafka,
Sebelumnya maafkan aku karena setelah
sekian jam menunggu, bukannya aku yang datang tetapi malah email panjang ini. Aku
sudah datang, ganteng. Tepat waktu. Tapi melihat kamu duduk disitu, aku
mendadak kehilangan semua keberanian yang sudah aku siapkan sejak semalam.
Aku mau membuat semuanya menjadi mudah.
Dan kalo tadi aku berjalan menemuimu, maka pasti akan sulit buat kita berdua.
Ternyata, aku mencintaimu sebesar itu, Kafka. Dan aku tau, kalo tadi kita
ketemu, maka semuanya akan berulang dari awal. Aku akan kembali luluh, kamu
akan semakin berat.
Kita memang harus berakhir disini,
Ganteng...
Bukan karena kamu atau aku tidak baik
untuk satu sama lain. Bukan pula karena kita tidak saling sayang. Tapi memang
kadang ada dua orang yang diciptakan saling cinta tapi tidak untuk saling
memiliki. Well, mungkin itu kita.
Terimakasih, Ganteng. Terimakasih
karena kamu sudah pernah sayang sama aku. Terimakasih karena kamu sudah pernah
jagain aku, sabar ngadepin aku yang rewel, nurutin maunya aku yang kadang
macem-macem. Terimakasih ya, Ganteng. Terimakasih karena kamu sudah pernah
mengizinkan aku dekat-dekat dengan kamu dan merasa jadi yang paling kamu
sayang.
Seperti yang selalu aku katakan padamu
sambil lalu, andai aku bisa memutar balikkan waktu dan bertemu kamu tiga tahun
lebih awal, mungkin yang kamu nikahi adalah aku dan bukan dia. Aku tidak
menyerah, aku hanya merasa jahat karena sudah membuat hati kamu terbagi. Entah
dengan apa aku bisa menebus dosaku ini sama anak istri kamu ya, Ganteng..
Aku baik-baik saja, ganteng. Mulai hari
ini, aku janji gak bakal jadi alasan hati kamu terbagi lagi. Mencintai suami
orang tidak pernah ada dalam impian atau cita-cita masa kecilku, tapi aku
percaya Tuhan punya alasan kenapa hidup kita dibuat bersinggungan.
Efektif resign-ku besok. Jangan cari
aku, ya. Aku akan baik-baik saja, jangan khawatir. Kamu juga harus selalu
baik-baik saja. Jangan males makan siang meski kerjaan lagi banyak, jangan
tinggal sholat lagi ya...
I’ll miss you, handsome. I’ll miss us.
Love,
Keara
Sesuatu memanas disudut mataku. Aku tahu
laki-laki pantang menangis, tapi kali ini rasanya pilu sekali. Aku mungkin
memang laki-laki bajingan, suami yang tidak bersyukur, ayah yang tidak baik.
Aku mencintai wanita lain, dekat dengan wanita lain, padahal statusku sudah
punya istri dan satu anak.
Pertama kali dekat, Keara tidak tahu.
Salahku karena ketika dia bertanya pacar, aku menjawab tidak punya sambil
tertawa. Sebenarnya tidak salah, karena aku memang tidak punya pacar. Aku punya
istri, oh dan satu anak yang belum genap setahun umurnya. Hingga beberapa bulan
kemudian, salah satu rekan kami memberitahunya. Dia tak lantas mundur, dia tak
menjauh. Dia bilang, “jangan sebut tentang istri kamu kalo kita lagi sama-sama,
ya...”. Dan aku mengiyakan. Hingga dua tahun, dan sampai di hari ini.
Ah,
Keara.
I’ll
miss you, too... I’ll miss us, too...
Aku akan rindu rambut kamu yang selalu
wangi shampoo seharian itu entah bagaimana caranya. Aku akan rindu cara kamu
berbicara, tawa kamu, marahnya kamu kalo aku lupa makan siang. Aku akan rindu
kamu ingetin sholat. Aku akan rindu cara kamu minum teh. Aku akan rindu
dipanggil dengan nickname “ganteng” yang cuma punya kamu itu.. I’ll miss everything about you, Keara...
Smartphone-ku
bergetar lagi, kali ini telepon masuk.
Mami
Rahesa Calling...
Istriku.
Aku menghela nafas, menenangkan diri,
kemudian menekan tombol answer.
“Iya, sayang? Oh, iya... Aku sebentar
lagi pulang... Apa? Iya meetingnya udah selesai. Iya aku inget kok mau ngajak
Rahesa nonton. Kalian siap-siap ya, setengah jam lagi aku sampe rumah kita
langsung berangkat. Iya sayang... Okay... Dadah...”
Mungkin memang sudah seharusnya seperti
ini ya, Keara. Mungkin memang sudah seharusnya diakhiri.
...............................
Note : Pemanasan setelah sekian lama ga nulis cerita, abis baca cerbung Mbak Lala Purwono di Notes Fesbuk, jadi rindu nulis juga :D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar