***
Aku dan Fathir. duduk berhadapan dengan semangkok bakso tahu yang mengepul dihadapan masing-masing. Menu yang sama. Semangkok bakso tahu dengan mie kuning dan tanpa sayur. Hanya menu minuman saja yang berbeda. Aku dengan teh botol, dan Fathir dengan Teh Tarik nya.
Fathir mengaduk pelan mangkuk baksonya. Tadi dimobil kami nggak terlalu banyak berbicara. Fathir lebih banyak diam, seperti sedang memikirkan sesuatu. Aku memilih sibuk berkelana di dunia twitter. Hanya suara musik dari dvd player mobilnya saja yang mengalun lembut.
“Nggak usah pake cabe, nanti perutnya sakit lagi...” Fathir menahan tanganku yang hendak menuangkan cabe ke dalam mangkuk bakso tahu-ku.
Aku tersenyum kecil. “Dikit aja, ya?” kataku memohon.
Fathir tetap menggeleng dengan keras.
Aku merengut, lalu melepaskan sendok cabe. Mengaduk-aduk kasar mangkuk bakso tahuku. Apa enaknya coba makan tanpa cabe? Huh!
“Eh, katanya ada yang mau diomongin?” kataku memecah keheningan. Fathir menatap mataku dan mulai tampak gugup.
“Iya, nanti. Makan aja dulu. Biar enak ngomongnya kalo udah selesai makan...” Fathir menjawab pelan, lalu kembali menunduk kearah mangkok bakso tahunya.
Aku semakin merasa tidak enak hati. Ini sebenernya ada apa sih?
“Tadi Maya ketemu Ririn, loh...” aku berkata hati-hati.
Fathir bergumam tak jelas. “Terus?” tanyanya.
“Ya gitu, masih kayak biasa. Bilang kalo kamu... ah, kamu taulah, yank...” Aku memotong kecil-kecil bakso tahuku.
Fathir nggak merespon.
“Hilda?” tanya Fathir pelan. Ada yang janggal dari nada bicaranya.
Aku mengangguk. Menyuap perlahan bakso yang sudah kupotong kecil-kecil tadi ke dalam mulutku.
“Kamu percaya?” tanya Fathir pelan, masih menunduk. Aneh. Fathir jaraaaang sekali menghindari kontak mata denganku.
“Retoris, sayang. Aku ingetin nih, ya... Kali-kali aja kamu lupa... Aku percaya kamu. Lebih dari apapun yang Ririn atau orang-orang lain itu bilang tentang kamu. Peduli apa sih aku tentang masa lalu kamu sama Hilda? Aku tau kamu, yank. Aku kenal kamu dengan baik. Mereka boleh kenal kamu lebih dulu. Tapi mereka nggak kenal kamu dengan baik. Yah, at least, kamu yang sekarang...”
Fathir tertawa kecil. “Jadi ceritanya kamu kenal aku ‘yang sekarang’ lebih baik dari mereka niih?” katanya menekankan ‘yang sekarang’.
Aku menonjok lengannya pelan. Kami tertawa.
“Terus kenapa kamu nggak mau percaya sama omongan dia? Aku nyuruh Hilda nunggu tapi malah pacaran sama kamu?”
“Ya nggak lah, yank. Gimana bisa aku percaya omongan dia? Statement dia tempo hari tentang Reza sama Ardi aja nggak ada yang bener. Kita toh udah konfirmasi langsung ke orangnya... Apa perlu kali ini aku konfirmasi langsung juga ke kamu? Tapi apa itu gak berarti aku gak percayaan sama kamu?” Aku nyerocos panjang lebar. Di kepalaku mendadak terputar ulang tingkah-tingkah konyol Ririn.
“Haha. Ya kali aja khusus yang ini, omongan Ririn bener...”
DEG!
“Kamu ngomong apa sih, yank?” Aku mulai merasa nggak enak.
Fathir menjauhkan mangkuk bakso tahunya yang sudah kosong. Menyeruput dalam-dalam Teh Tariknya. Lalu, meraih tanganku.
“Aku boleh bilang sesuatu ke kamu?” tanya Fathir dengan mimik serius. Menatap mataku dalam-dalam.
Mata yang selalu membuat aku luluh.
Berbagai pikiran buruk berkecamuk diotakku. Gimana kalo ternyata bener? Gimana kalo malem ini Fathir mau memperjelas semuanya? Gimana kalo...
“Terimakasih buat selama ini ya, sayang....” Fathir tersenyum lembut. Senyum yang menenangkan. Senyum yang juga membuat aku luluh.
Pikiranku semakin tak menentu. Semakin kacau. Sesuatu bergemuruh dengan kencang dibalik dadaku.
“Aku sayang sama kamu...” fathir memberi jeda pada ucapannya. Aku menahan nafas. Jemariku yang ada dalam genggaman Fathir itu mendingin. Sekujur tubuhku mendingin. “Terus percaya sama aku, bisa?” tanyanya pelan.
Aku balas menatap matanya. Mata cokelat meneduhkan itu. Dia tersenyum, manis. Aku bisa merasakan ketulusan disana.
Aku tersenyum dan mengangguk mantap. “Selalu, sayang. Kamu tenang aja...”
Fathir memegang kedua pipiku. Mengecup lembut keningku. Kehangatan mulai menjalari sekujur tubuhku.
“Kalo jadi ibu dari anak-anakku kelak.... bisa?”
DEG!
Aku tersenyum lega. Jantungku mulai berdetak normal. Sudut mataku memanas. Air mata haru mendesak keluar. Dan aku menangis. Tidak peduli maskaraku bakalan belepotan. Aku memeluk Fathir erat-erat dan dia menciumi atas kepalaku.
“Jawab doooong, bisa nggaaak?” tanyanya menggoda.
Aku menghujaninya dengan cubitan. Aku tertawa. Dia ikut tertawa. Tiba-tiba aku teringat sesuatu.
“Katanya tadi mau ada yang dibilangin?”
Raut wajah Fathir kembali tegang. Dia melirik kiri-kanan seperti mencari sesuatu.
“Cari apa sih?” tanyaku penasaran.
“Mbak!” Bukannya menjawab pertanyaanku, Fathir malah memanggil mbak-mbak pelayan. Si mbak tersenyum dan berjalan mendekat membawa sebuah nampan dengan mangkok diatasnya.
Mbak pelayan itu meletakkan mangkok berisi bakso tahu tanpa kuah dihadapanku. Aku mengernyit bingung. Aku kan nggak mesen bakso tahu tambahan? Yang dimangkuk pesananku aja belom habis.
Aku menatap Fathir kebingungan. Fathir tersenyum. “Tuh dimakan baksonya...”
“Yank? Yang ini aja belum habis...”
“Dicek dulu... ada apa aja... yang ini spesial loh...”
Aku menurut. Masih kebingungan. Mengecek satu per satu isi mangkuk bakso tahu porsi tambah tersebut. Ada mie kuning, ada tiga butir bakso, ada tahu, ada.... CINCIN?
Aku mengalihkan tatapan ke arah Fathir. lelaki tampan itu tersenyum lebar.
“Will you marry me?” tanyanya mantap.
Aku kehilangan kata-kata. Menatap fathir beberapa saat sebelum akhirnya mengangguk mantap. Fathir mengambil cincin itu dan memasangkannya di jari manisku.
Lalu kemudian, sekali lagi mencium pelan jidatku. Sudut mataku kembali menghangat. Buliran bening mendesak keluar.
“Dih, kok malah nangis.... Mestinya seneng dong dilamar cowok ganteng ini...”
Aku tertawa. “Ini aku nangis seneng, begoooo....”
Dia ikut tertawa. Menggenggam erat tanganku. Damaaaai sekali rasanya. Sekarang aku sudah tidak peduli lagi. Berapa banyak pun yang akan bilang padaku bahwa Fathir nyuruh Hilda nunggu dan malah jadian sama aku. Berapa kuat pun bisikan jahat itu menyerangku. Aku sudah tidak peduli lagi.
Dan aku bahkan sudah tidak perlu bertanya kepada Fathir lagi, tidak perlu meminta kejelasan darinya lagi.
Cincin dalam semangkok bakso tahu ini adalah jawaban dari segalanya
*spin off cerita Fathir - Soraya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar