“Hai...”
“Hai...”
Dia berdiri dihadapanku. Lelaki
yang pernah setengah mati aku cintai. Tersenyum seakan-akan tidak pernah ada
sesuatu yang salah terjadi diantara kami. Nyaris setahun lebih kami tidak ketemu,
dan kenapa sekalinya ketemu harus saat jam kerjaku?
“Selamat pagi, ada yang bisa
dibantu?” aku mengucapkan kalimat template
yang sudah ribuan kali aku ucapkan kepada para nasabah itu sambil memaksakan
senyum selebar mungkin. Bagaimanapun juga, dia datang kesini sebagai nasabahku.
“Kita sudah lama ya nggak
ketemu...” katanya tersenyum. Senyum yang masih sama sejak terakhir aku bertemu
dengannya.
Gugup, ku balas senyum itu. Bank
sedang sepi. Hari masih pagi, jam baru menunjukkan pukul 10.
“Aku mau transfer nih...” katanya
kemudian.
Lagi-lagi aku tersenyum. Kemudian
menanyakan bank tujuan, nominal transfer, serta nomor rekening tujuan
kepadanya.
Dia menyodorkan handphone-nya.
Android Galaxy Mini berwarna putih. Aku tersentak, mau tak mau menatap kearah
wajahnya.
“Semua ada disitu... Aku nggak
perlu nulis-nulis dulu, kan? Bisa langsung aja, kan? Bank yang sama kok...”
katanya kemudian, mengira bahwa aku kaget karena dia menyodorkan handphone
bukannya malah resi transfer.
Aku menggeleng. “Handphone kita
sama...” kataku.
Dia terbelalak. Mungkin tak
percaya. “Again?” tanyanya.
Memoriku kembali dibawa ke
beberapa tahun yang lalu, saat kami baru dikenalkan oleh salah seorang teman
kami, dan kemudian menyadari ada banyak hal yang sama dalam diri kami.
Handphone salah satunya.
“Yup...” Aku mengangguk. Tanganku
meraih handphone-nya dan mulai mengetikkan deretan nomor rekening tujuan di
komputer server-ku. “Bahkan warnanya pun sama...”
Dia tertawa pelan. “Aku pernah baca, entah dimana...
There are two people who love each other
but aren’t meant to be together...” katanya pelan.
Aku menyibukkan diri dengan
proses transaksi. Memencet keyboard komputerku dengan lincah. Bagaimanapun,
transaksi ini harus segera diakhiri.
“Mungkin itu kita...” lanjutnya,
tepat saat resi transfer miliknya selesai ku cetak.
Aku tersenyum. Menyodorkan resi
transfer itu ke arahnya. “Silahkan tanda tangan disini...” kataku sembari
menyodorkan pena.
Dia meraih pena itu dan membaca
sepintas resi transfer yang aku sodorkan. “Anyway, masih sering dengerin
Avenged Sevenfold?” tanyanya.
Aku menggeleng.
“Kenapa?”
Aku melihat tangannya menggantung
diatas resi transfer, belum juga menandatangani resi transfer itu.
Aku menghela nafas. “Kamu terlalu
jamak didalamnya...”
Dia tertawa lagi. Kemudian
kulihat tangannya mulai bergerak diatas resi transfer membubuhkan tanda tangan.
“Baiklah, silahkan tulis nama
lengkap kamu, alamat, dan nomor handphone disini...” kataku menunjukkan kolom
identitas pengirim.
Dia menurut, mengisi kolom
identitas itu dengan tulisan tangannya yang khas. Aku bahkan masih bisa
menghafal setiap lekukan tulisan itu.
“Kamu tau...” Aku sengaja
menggantungkan kalimatku. Dia mengalihkan perhatiannya dari resi transfer itu
kearahku. Aku balas menatapnya. Mata cokelat bulat yang selalu meneduhkan itu
kini menatap dalam kearah mataku. “Aku pikir semuanya sudah hilang. Tapi
ternyata, jarak hanya menetralkan segalanya saat kita nggak bertemu. Sekarang,
berhadapan langsung sama kamu, aku disadarkan kalo nggak pernah ada yang
hilang. Semua masih ada, lengkap, sama”
Aku melihatnya tersenyum. Senyum
yang setengah mati berusaha aku hapus dari mimpi-mimpi manis tentang dia
setahunan ini.
“Kamu keras kepala...” katanya,
tertawa.
“Aku cuma nggak pengen bikin kamu
susah...”
Sekali lagi dia tertawa, kemudian
melanjutkan menulis nomor handphone-nya pada kolom identitas pengirim. Lalu
menyodorkan kembali resi transfer itu ke arahku.
“Ku dengar, Tiara sudah
melahirkan?” tanyaku, mengecek sekali lagi resi transfer itu kemudian
membubuhkan tanda tanganku dan cap bank sebagai bukti bahwa resi transfer itu
adalah bukti pengiriman yang sah.
“Iya, anakku perempuan” aku
melihat ekspresi wajahnya yang berseri-seri. Syukurlah, setidaknya dia bahagia.
Berarti keputusanku tepat.
“Baiklah... Ini sudah selesai...”
Aku menyodorkan resi transfer itu kepadanya, menunjukkan tanda bahwa uang yang
dia kirim sudah masuk ke rekening tujuan. “Ada lagi yang bisa dibantu?” tanyaku
lagi-lagi dengan pertanyaan template standar teller bank.
Dia tersenyum. “Kapan-kapan kalo
sempet, mainlah kerumah. Ajak dia sekalian, ya...” katanya kemudian, melipat
resi transfer yang kuberikan dan memasukkannya ke dalam tas.
Aku meneguk ludah. Tanpa harus
dia jelaskan, aku tahu siapa ‘dia’ yang dimaksud. Kekasihku.
Dia tersenyum sekali lagi,
mengucapkan terimakasih, dan kemudian berbalik pergi.
“Tunggu...” aku memanggilnya tepat
saat tangannya menyentuh gagang pintu. Dia berhenti dan menoleh kearahku. “Jaga
baik-baik hatimu, ya. Aku pernah mempertaruhkan kebahagiaanku demi keutuhan
hati itu...” kataku kemudian.
Dia mematung, menatapku dalam
diam. Andai bisa, aku mau berlari kearahnya dan memeluknya erat-erat. Tapi
Tuhan selalu tau mana yang terbaik bagi umat-Nya, dan aku percaya, apa yang
terjadi padaku saat ini adalah hal-hal terbaik yang Tuhan punya untukku.
Lalu aku membiarkannya pergi,
sekali lagi, dari hadapanku. Sekali lagi, tanpa sedikitpun upaya menahannya.
Tuhan tidak pernah salah. Aku selalu percaya itu.
***
Based on quote : "There are two people who love each other
but aren’t meant to be together" ~ #ReadSomewhere
Tidak ada komentar:
Posting Komentar