10 Agustus 2012

Bandara

Aku melangkah pelan, sekuat tenaga memaksa kakiku untuk bergerak. Disebelahku Fathir berjalan tak kalah pelannya, tangan kami saling bertaut.

Entah apa rasanya. Aku tak bisa menjelaskannya pada siapa-siapa. Semua bercampur menjadi satu. Meminjam istilah yang sudah teramat jamak, nano-nano. Ada sedih, khawatir, senang, excited. Tapi terlebih adalah takut.

Adegan percakapan semalam terputar kembali di otakku. Seperti ada seseorang yang menekan tombol on, lantas semuanya bermain ulang.

*

“Berapa lama?” Fathir menatapku penuh tanya. Aku mengalihkan mata dari pandangannya. Tak sanggup rasanya harus menatap mata itu lebih lama.

“Dua bulan, sayang. Pendidikannya dua bulan. Plus pulang-pergi dan sebagainya, kurang lebih dua setengah bulan..” Aku menjawab tegas. Berusaha kuat.

“Selama itu kamu nggak akan pulang?” tanya Fathir lagi.

Aku memaksakan senyum, lalu menggeleng.

“Mereka nggak ngasih kamu libur kalo weekend?”

“Ngasih...” aku merendahkan suaraku. “Sabtu sore udah keluar asrama, senin pagi baru masuk lagi. Tapi ya nggak mungkin aku pulang kan? Jauh, sayang. Makan waktu, tenaga, dan duit...” aku berusaha menjelaskan dengan sabar.

“Terus kalo aku kangen... gimana?”

Pertanyaan yang sebenarnya aku pun membutuhkan jawabannya. Tapi aku lagi-lagi memaksakan senyum. Aku meraih tangan Fathir, kekasihku itu, dan menggenggamnya erat-erat.

“Ada telpon, kan? Kita juga bisa whatsapp, sms, twitteran. Bahkan video call kalo kamu mau, sayang...” aku tersenyum.

Fathir melengos.

“Kan abis pendidikan aku balik lagi kesini, bareng-bareng kamu lagi, sayang...”

“Kamu kan tau aku nggak bisa LDR” Fathir men-skak dengan kalimat andalannya.

Sesuatu yang teramat sangat aku takutkan. Fathir pernah gagal karena LDR, dan selama ini, sebisa mungkin aku menghindari LDR. Aku bahkan berusaha mencari kerja didekatnya, karena aku betul-betul tidak ingin mengacaukan hubungan yang sudah sekian lama kami bina hanya karena LDR. Aku mengubur dalam-dalam mimpi kerja ke ibukota karena aku tidak ingin jauh dari Fathir.

“Iya aku tau...” kataku pelan.. “Aku juga nggak pengen jauh dari kamu, sayang. Tapi aku harus, dan ini cuma dua bulan, dan toh semuanya buat kita juga, kan?”

Fathir diam.

“Sayang... Jarak itu adalah sesuatu yang bisa dikalahkan oleh hati...”

Air mataku menetes ketika menyebutkan itu. Aku juga takut, sayang. Andai bisa, aku juga nggak pengen pergi.

*

“Aya...” Suara Fathir menyentakkanku dari reka-ulang percakapan semalam yang sedang berputar didalam otakku.

Aku merasakan mataku basah, buru-buru kuhapus bulir bening disana sebelum Fathir melihat.

“Iya?” jawabku memaksa senyum.

“Kamu disana jangan nakal, ya? Jangan macem-macem pokoknya. Inget, kamu ninggalin pacar kamu disini. Baik-baik. Jangan telat makan, jangan kecapekan. Sering-sering ngasih kabar ke aku. Terus... Hm...”

Aku menempelkan telunjukku ke bibir Fathir.

“Aku takut...” katanya pelan.

Aku menghela nafas berat, berusaha menguatkan diriku sendiri. Mataku kembali menghangat, ada desakan hebat diujungnya. Aku buru-buru mengalihkan pandangan kesekitar. Ada sekelompok tentara dan (mungkin) para keluarganya disudut sebelah sana, nuansa perpisahan terpancar kental diantara mereka.

Ah, padahal aku sudah berhasil lulus seleksi Bank itu untuk penempatan dikota ini. Jadi aku nggak perlu meninggalkan Fathir. Tapi karena setiap karyawan baru duharuskan mengikuti training ke ibukota selama dua bulan, maka mau tak mau aku tetap harus berpisah dengan Fathir.

cuma dua bulan saja, kok. aku membatin, menguatkan hatiku.

Aku beralih menatap kekasihku kembali.

“Aku sayang kamu, dan kita akan baik-baik saja. Kekuatan pikiran, kan?” Aku tersenyum, mengacungkan kelingkingku kearah Fathir.

Fathir balas tersenyum dan menyambut uluran kelingkingku dengan kelingkingnya.

“Kalo kelak kamu bosan, inget ya sayang, kita nggak pernah mudah untuk sampai didetik ini...”

Fathir tersenyum dan mengangguk. Kemudian dia meraihku kedalam pelukannya. Aku memejamkan mataku berusaha menikmati pelukan yang dua bulan kedepan akan sangat aku rindukan. Pelan, aku merasakan Fathir mencium atas kepalaku penuh sayang.

Aku tidak pernah suka bandara, apalagi terminal keberangkatan ini. Tidak karena selalu ada banyak raut wajah sedih yang aku temukan disana-sini. Tidak karena dia seakan selalu berperan menjadi gerbang pemisah. Tidak karena ketika menginjakkan kaki masuk kedalamnya, kita nggak pernah tau, apa kelak yang masuk itu akan kembali keluar dengan selamat.

Dari pengeras suara terdengar panggilan untuk penumpang pesawat yang aku tumpangi. Mau tak mau aku melepaskan diri dari pelukan Fathir, sekali lagi menatap kekasihku itu dalam-dalam. Lalu mencium tangannya dan berpamitan.

“Aku berangkat ya, sayang...”

..dan kemudian melangkah masuk, tanpa menoleh lagi kebelakang. Membiarkan Fathir masih berdiri disana menunggu aku menghilang dibelokan.

Jaga Fathir baik-baik, Tuhan...


***
Note :
- another part of Fathir - Soraya, #draft
- ditulis untuk ikut serta dalam project #bandara @firah_39
Published with Blogger-droid v1.7.4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Blog Design ByWulansari