Aku melangkahkan kakiku pelan memasuki restoran italia ini, jantungku berdetak jutaan kali lebih kencang dari normalnya. Entah kapan terakhir kali aku menginjakkan kakiku dengan perasaan bahagia yang menggebu disini. Dulu, restoran ini adalah tempat nge-date favoriteku dan Rama. Nyaris setiap weekend kami makan disini. Tapi itu dulu, saat aku dan dia masih berstatus sepasang kekasih.
Itu dulu, nyaris tiga tahun yang lalu.
Sekarang, setelah semuanya selesai, nyaris tiga tahun berlalu dan tiap kali menginjakkan kaki kesini, selalu ada nyeri yang terasa dalam hati. Iya. Semenjak Rama memilih menyerah dalam hubungan kami, aku masih sering berkunjung kesini, sesekali. Setiap aku rindu padanya. Dan sayangnya, rindu pada Rama itu seakan tak pernah berhenti. Padahal aku tau, sudah setahunan ini Rama menjalin cinta dengan gadis lain. Gadis yang berjuang mati-matian untuknya. Gadis yang setengah mati ku benci karena telah merebut Rama dariku.
Sekarang, hari ini, aku menginjakkan kaki di restoran ini lagi, dengan perasaan bahagia, yang menggebu, seperti dulu. Karena sekarang, hari ini, Rama mengajakku bertemu. Iya. Rama mengajakku bertemu direstoran ini. Ada yang ingin dia bicarakan padaku katanya.
Aku memilih tempat duduk di sudut dekat tembok, dengan kaca bening disalah satu sisinya langsung menghadap jalanan. Tempat favoriteku dan Rama dulu. Seorang pelayan datang mendekat dan membawakan daftar menu untukku. Aku memesan secangkir latte. Dan pelayan itu berlalu setelah mencatat pesananku.
Aku melirik jam tangan yang melingkar manis di pergelangan tangan kiriku. Sudah pukul 7, tapi Rama memang biasa terlambat. Biarlah, aku akan menunggunya dengan sabar. Seperti gadis yang berhasil memenangkan hatinya itu. Bukankah gadis itu harus bersabar sedemikian lamanya sebelum akhirnya meluluhkan hati Rama? Iya. Rama-ku. Jadi, kali ini aku akan mencoba bersabar, mungkin saja pertemuanku dengan Rama hari ini berujung baik. Iya, kan? ah... berharap rasanya tidak salah...
Pelayan datang, membawakan latte pesananku. Aku mengucapkan terimakasih sambil tersenyum, lalu pelayan itu berlalu lagi. Rama masih belum datang, sudah lewat sepuluh menit. Dan aku akan terus menunggu dengan sabar.
Aku mengaduk-aduk latte ku, menyesapnya sesendok demi sesendok, sambil pikiranku melayang ke tiga tahun yang lalu. Saat aku dan Rama masih merupakan sepasang kekasih. Terlalu banyak hal indah yang sudah kami lewati bersama, sehingga rasanya aku masih belum bisa memulai hidup tanpanya.
Tiga tahun berlalu, bahkan Rama sudah melabuhkan hatinya pada gadis lain. Sementara aku, masih tergugu disini menunggu Tuhan mengirimkan keajaiban. Keajaiban yang membawa Rama kembali padaku, dan kami bisa melanjutkan apa yang sudah pernah kami mulai dulu.
Aku menghela nafas, sudut mataku mulai terasa panas. Tidak. Aku tidak boleh menangis. Rama tidak pernah suka gadis cengeng. Tidak. Aku tidak boleh menangis dihadapannya. Lagian, nggak lucu kalau maskaraku harus belepotan karena air mata sialan ini. Ini kan pertama kalinya Rama mengajakku bertemu, berdua saja, setelah nyaris tiga tahun kami berpisah. Bahkan dia mengajakku bertemu ditempat favorite kami dulu. Berulang kali hati kecilku menyebut segala macam doa baik.
“Hai, Al... Udah lama?” Aku mendengar suara seseorang tepat dibelakangku. Suara yang amat sangat aku kenal. Aku tersentak dan menoleh. Mendapati dia berdiri tegak dibelakangku. Dia. Rama-ku.
Aku memperhatikan dia dari atas hingga bawah. Dia masih sama seperti dulu. Masih tetap tampan dengan kemeja dan jeans-nya. Masih dengan senyum manis berlesung pipi itu. Masih tetap menawan seperti dulu. Dan, aku mengendus, parfume-nya juga masih sama seperti yang dulu ia kenakan. Hanya potongan rambutnya saja yang sudah berubah. Aku tertegun, wangi khas Rama ini, ingin sekali aku memeluknya erat-erat dan tidak akan aku lepaskan lagi.
Rama melambaikan tangannya tepat diwajahku. Aku tersadar dari khayalanku. “Eh... Hai... Eh... Uh...” Aku tergagap. Sial. Senyum itu masih tetap membuat seluruh syarafku lumpuh.
“Boleh aku duduk?” tanya Rama, menunjuk bangku didepanku.
Aku mengangguk dengan canggung. Rama tersenyum. Seorang pelayan mendekat, Rama memesan Fetuccini dan Latte. Bahkan pesanannya pun masih sama seperti dulu. Mataku masih menatapnya tak berkedip.
“Apa kabar, Al?” tanya Rama sesaat setelah pelayan menjauh.
“Hm... Baik... Kamu?”
“Alhamdulillah... Baik juga...”
Hening. Aku memelintir ujung taplak meja dengan jari-jariku. Nyaris tiga tahun tidak pernah bertatap muka dengan Rama seperti ini. Malam ini dia ada dihadapanku. Terlalu banyak yang ingin aku katakan padanya. Bahwa aku masih menyayanginya. Bahwa aku masih menunggunya. Bahwa...
“Tisya apa kabar?” Aku mengutuki diriku sendiri karena sudah mengeluarkan pertanyaan bodoh ini. Tisya adalah gadis yang telah merebut Rama dariku, dan asal tahu aja, aku benci setengah mata padanya. Tisya mendapatkan perhatian yang ekstra banyak dari Rama. Lebih dari apa yang Rama lakukan ketika dia masih menjadi pacarku.
Kulihat Rama tersenyum. Matanya memandang sekitar. Trattoria ini ramai. Bangku yang tersedia nyaris penuh. Mataku ikut menatap berkeliling dan berhenti pada meja yang berisi sepasang kekasih yang saling menatap sayang. Mendadak aku diliputi perasaan iri.
“Tisya baik.... Dan... dia-lah alasan aku menemuimu malam ini...” Rama berkata pelan. Aku tersedak. Dalam hati, aku mulai menyebut segala jenis doa baik. Semoga apapun yang akan dikatakan Rama adalah bukan sesuatu yang bisa mengkiamatkan hatiku.
Pelayan datang membawakan pesanan Rama.
“Kamu udah pernah ketemu Tisya?” tanya Rama, menyesap latte-nya.
“Iya, udah...” jawabku pelan.
“Dia cantik, kan?” Rama terkekeh. Aku memaksakan senyum. Pahit. “Aku nggak salah pilih dong?” tanya Rama lagi.
Aku mengernyitkan dahi, tidak mengerti kemana arah pembicaraan ini akan berjalan. Aku masih memaksakan senyum.
Iya. Aku akui. Tisya cantik. Manis sih tepatnya. Aku pernah bertemu dengannya secara tidak sengaja di salah satu Mall. Saat itu Tisya sedang menemani kakak perempuan Rama berbelanja. Aku menegur kakak perempuan Rama, dan malah dikenalkan dengan Tisya. Sebelumnya aku memang sudah mendengar cerita tentang gadis ini dari beberapa temanku. Hanya saja, aku tidak menyangka, ketika bertemu, Tisya nampak 100 kali lipat lebih baik dari yang aku bayangkan. Dia cantik, errr manis maksudku. Dia ramah. Bahkan aku bisa melihat kakak perempuan Rama begitu menyukainya.
Hatiku berdenyut perih.
Tapi akhir-akhir ini aku sudah tidak pernah lagi mendengar cerita tentang Tisya dan Rama dari teman-temanku. Ekspektasiku mulai kemana-mana. Mungkin saja Rama dan Tisya sudah selesai. Mungkin saja Rama akhirnya merasa tidak cocok dengan Tisya. Mungkin saja, kan? Apalagi mendadak malam ini dia mengajakku bertemu, berdua saja, di restoran favorite kami dulu.
“Kamu udah punya pacar?” tanya Rama, menyentakku dari lamunan.
Aku menggeleng. Aku masih teramat menyayangimu, ma...
“Ih... sayang banget... nanti kamu ke pesta pernikahan aku sendirian doooong?” Rama tergelak. Aku melotot. Apa katanya? pesta pernikahan?
“Ma.. maksud kamu?” tanyaku terbata.
Rama masih cengengesan. “Ya kan kata orang kalo dateng ke nikahan mantan sendirian itu nggak enak rasanya. Emang kamu siap gitu, liat aku yang ganteng ini bersanding dengan gadis lain di pelaminan? heheheh...”
Aku masih menatap Rasa tak mengerti.
“Kamu kenapa?” tanya Rama, merasa aneh melihat responku, mungkin.
“Aku... aku nggak ngerti kamu ngomong apa...”
Rama tersenyum, menyodorkan sesuatu kearahku, sesuatu berwarna ungu-pink dan berbentuk persegi. Sesuatu yang ternyata...
“Ini...” Rama menyodorkan benda itu kearahku. Masih diliputi perasaan heran, aku meraihnya, membaca sekilas, dan sekujur tubuhku gemetaran. “Minggu depan aku dan Tisya akan menikah. Kamu datang, ya...”
Apa? Apa yang dia bilang barusan? Aku... Seseorang tolong bangunkan aku. Aku pasti sedang bermimpi kan, ini?
Sekujur tubuhku membeku. Ku buka undangan itu dan ku baca satu per satu kalimat di dalamnya. Hatiku berdenyut perih, aku lemas. Disana tertera nama Rama dan Tisya serta tanggal pernikahan mereka.
Tuhan... aku sedang bermimpi, kan? Aku mau bangun sekarang. Tolong...
Aku mengatur napasku. Tersengal. Menatap Rama. Memohon penjelasan. Tapi Rama hanya balas menatapku sambil tersenyum mantap. Dimatanya itu, aku menemukan bayangan Tisya.
Tuhan...
Published with Blogger-droid v1.7.4
Tidak ada komentar:
Posting Komentar