“Ayaaaaaa.....” teriakan nyaring merasuki indera pendengaranku dengan cepat. Teriakan khas yang sudah aku hafal diluar kepala tanpa harus menoleh dan mendapati siapa pemiliknya.
Aku menghentikan langkahku. Kooridor kampus masih sepi. Masih lumayan pagi soalnya. Anak-anak dikampus ini kan doyannya dateng mepet-mepet jam masuk kelas. Abis kelas juga langsung pada ngacir pulang.
Tepukan halus dibahu menandakan si pemilik teriakan sudah sampai didekatku. Aku menoleh dan mendapati Ardi berdiri tersenyum lebar dihadapanku. Senyum yang bikin aku pengen menoyor kepalanya.
“Apa sih aaahhh teriak-teriak. Kangen lo ya sama gue?” Aku menonjok lengannya pelan, kemudian berbalik dan melanjutkan berjalan.
“Heeeh. Mau kemana lo?” Ardi menarik tanganku, aku terpaksa berhenti lagi.
“Mau ke jurusan, nemuin ibu dosen pembimbing” aku mengangkat map kuning ditanganku, memperjelas apa yang akan aku lakukan saat itu.
“Gile, sepagi ini. Belum dateng lah, neng. Lagian lo nggak liat apa, jurusan masih tutup gitu...” Ardi menunjuk kearah jurusan dengan moncongnya. Aku ikut menoleh dan mendapati pintu jurusan memang benar-benar masih tertutup. “Bis fakultas aja belum dateng... Kerajinan lo...” Ardi tertawa. Mengacak-acak rambutku.
“Eh kita udah lama nggak ketemu ya, di...” aku menjauhkan kepalaku dari jangkauan tangannya. Ardi tertawa.
“Iyalah. Lo sibuk gitu. Bimbingan teruuuus. Ngebet banget ya wisuda juni...”
Aku tertawa.
“Eh duduk situ yok, ngobrol-ngobrol gitu... Gue kan kangen...” Ardi menunjuk bangku semen di depan jurusan. Aku berfikir sejenak. “Yaelah, si ibu juga kalo udah dateng bakal ke jurusan dulu kali. Nggak bakal kelewat deh tenang aja...” Ardi menggandeng tanganku dan menarikku menuju bangku semen depan jurusan. Aku menurut, mengikuti langkahnya dengan gontai.
“By the way. How’s Fathir?” Ardi memulai obrolan sedetik setelah aku menghempaskan pantatku ke dudukan semen itu. Aku tertawa kecil. Ardi ini sahabatku, sahabat Fathir juga. Sahabat kami dikelas. Ardi yang tau segala cerita tentang aku dan Fathri dari jaman masih malu-malu kucing sampe sekarang ini. Ardi yang paling semangat ciye-in kami berdua. Ardi juga yang pertama kali menyebarkan kabar aku dan Fathir deket.
Aku tersenyum mengenang tahun-tahun belakang yang aku lewati di kampus ini. Sebentar lagi bakal lulus, dan aku pasti merindukan semuanya. Ini aja, sejak udah sibuk skripsi dan nggak ada mata kuliah lagi, aku ngampus Cuma buat bimbingan. Itupun jaraaaaang banget bisa ketemu, ngumpul, duduk-duduk, dan ngobrol bareng temen-temen.
Masing-masing sudah sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri.
“Fathir baik, kok. Hehehe. Masih sering ketemu sama dia di kelas Oil and Gas Accounting, kan?” Aku menjawab seadanya. Padahal aku tau banget, bukan itu yang Ardi maksud.
Ardi berdecak sebal. Aku meliriknya sambil tersenyum jahil.
“Bisikan jahat masih sering dateng dan ganggu kalian?” tanya Fathir.
Crap!
Aku tersenyum senentral mungkin, perutku mendadak mulas. Aku tau Ardi bakal nanya ini. Secara ya kita udah lama banget nggak ketemu. Udah lama nggak sms-telponan juga sih. Udah lama nggak ngobrol-ngobrol gini.
“Masih...” aku menjawab santai. Berusaha santai sih tepatnya. “Tapi itu cara Allah menguatkan gue sama Fathir, kaaaan?” tambahku, tersenyum.
“Cewek-cewek disekitar Fathir?” Ardi mengeluarkan pertanyaan pamungkasnya. Ardi tau Fathir banget. Mereka sering menghabiskan waktu berhari-hari bareng. Bahkan, waktu aku sama Fathir masih nggak jelas bakal kemana ujungnya, Ardi berulang kali mengingatkan aku bahwa Fathir deket sama banyak cewek dan bukan aku aja. Tapi aku tetep kekeuh, tetep PD aja gitu. Hihi.
“Masih tetep banyak kok, di. Lo tau sendiri lah. Fesbuk, twitter nggak pernah sepi dari mention gitu. Nggak perlu gue sebut juga sms dan bbm kan?”
Ardi tertawa. “Kok Lo santai-santai aja gini sih, Ay?” tanya Ardi.
Aku mengernyit heran. “Terus gue mesti gimana? Marah-marah gitu? Ngelarang Fathir deket-deket dan komunikasi sama mereka, gitu?” tanyaku dengan nada sinis.
Ardi mengangkat bahu.
“Gini ya, di.... gue tau Fathir. Dan gue rasa lo juga tau lah... Kita tau kapan Fathir becanda kapan Fathir serius. Dan lo bisa liat sendiri kalo dia sama cewek-cewek itu becandaan doang kan?”
Lagi-lagi Ardi hanya mengangkat bahu.
“Lagian obrolan mereka juga nggak ada yang spesial, kok. Sekedar obrolan biasa dan alakadarnya aja. Lantas, apa gue harus melarang-larang Fathir cuma gara-gara dia ngobrol sama cewek lain?”
“Iya itu yang lo liat. Yang lo nggak liat?”
“Dimana? sms? bbm? telpon-telpon?” aku bertanya, memastikan. Ardi mengangguk. “Fathir cerita semuanya ke gue. Detail kecil apapun. Jangankan sms, bbm, telpon. Lah obrolan dia sama cewek lain aja dia ceritain ke gue...”
“Wow...”
“Dan gue percaya dia, di. Lo pasti tau itu, kan? Gue percaya dia, dan gue tau dia bisa jaga kepercayaan itu baik-baik...”
Ardi mengangguk-angguk.
“Hubungan berpacaran tidak lantas membuat seseorang tidak bisa berteman dengan lawan jenis. Gue mah khawatir juga kali kalo Fathir kebanyakan main sama cowok. Apalagi cowok-cowok tipe lo gini. Muka mesum. Hahahahha....”
Ardi menonjok lenganku agak keras. Aku meringis. Lalu kami berdua tertawa terbahak.
“Lo nggak khawatir? Atau terganggu? Atau... Ya minimal, takut lah, si Fathir bakal terpikat gitu sama salah satu dari sekian banyak cewek-cewek itu?” tanya Ardi.
Aku terdiam sejenak. Berfikir. Mencari jawaban yang tepat. Ardi menunggu dengan sabar.
“Hm... nggak...” aku menjawab mantap beberapa detik kemudian.
Ardi berjengit, menatap aneh kearahku.
Aku tersenyum kecil.
“Ngapain gue mesti khawatir, kalo dari sekian banyak cewek yang deket sama dia itu cuma gue yang dia cium, dia peluk, dan dia bisikkan kata-kata sayang... Cuma sama bokap gue dia bilang bakal jagain anak gadisnya ini baik-baik. Cuma gue yang dia bawa pulang kerumah dan dikenalin sama keluarganya... dibawa pulang loh ya bukan gue dateng sendiri...”
“...”
“Dan masalah takut? Lo denger ini baik-baik ya, di... Diantara semua cewek-cewek yang deket sama dia itu... nggak akan ada yang bisa mencintai Fathir sebaik gue mencintai dia. Nggak akan ada, di...”
“Ay? Hahahahha.... PD gila, lo...”
Ardi tergelak. Aku menonjok perutnya. Dia meringis kesakitan.
“Lagian... dari semua cewek-cewek yang deket sama dia itu... toh Fathir milih gue, kan? Jadi ngapain gue mesti terganggu sama ‘mereka’ yang notabenenya nggak lebih menang dari gue?” aku berkata mantap, menekankan kata ‘mereka’.
Ardi tersenyum lebar. Menepuk pundaku. Lalu sekali lagi mengacak rambutku.
“Kekuatan percaya lo keren, Ay...” Ardi tersenyum. Aku balas tersenyum. “Sekeren PD lo yang selangit itu!” Ardi menambahkan. Aku melotot.
“Mending PD lah ya daripada minder. Hahahha...”
“Hahhahaa....”
“Eh, tuh si ibu. Yaudah, gue bimbingan dulu, ya... Nanti kita ngobrol-ngobrol lagi, deh. Dah Ardi....”
Aku melangkah secepat kilat menghampiri ibu dosen pembimbing tersayang yang baru saja melangkah masuk ke ruang jurusan. Masih menenteng map kuning. Tiba-tiba dadaku bergemuruh kencang. Hari ini aku bakalan minta tanda tangan persetujuan skripsi. Setelah perjuangan panjang dengan Fathir andil besar didalamnya, skripsi ini berhasil kelar juga. Tinggal selangkah lagi....
...Sarjana Ekonomi, I’m coming!
***
Another story of Fathir - Soraya #draft
***
Another story of Fathir - Soraya #draft
Tidak ada komentar:
Posting Komentar