16 Desember 2014

Sabtu Bersama Bapak

Weekend lalu, setelah melewati suatu proses perjuangan yang cukup panjang dan melelahkan, gue pergi ke toko buku dan membeli satu buah buku sebagai reward buat diri gue. Buku yang sebenernya udah sejak lama pengen gue baca tapi nggak gue beli-beli. Hahahaha. Akhirnya weekend lalu gue beli buku itu dan langsung gue baca saat hari belum berganti menjadi senin.

Judul Buku : Sabtu Bersama Bapak
Penulis : Adhitya Mulya
Penerbit : Gagasmedia, 2014 (masih di tahun yang sama, buku ini udah 4x cetak :o)

Tulisan dibawah ini mungkin nggak lantas bisa dikategorikan sebagai review. Gue hanya ingin menulis kesan-kesan yang tertinggal setelah gue menyelesaikan membaca buku ini. Mudah-mudahan nggak spoiler, yes :p

Pertama-tama yang mau gue tulis setelah gue membaca buku ini adalah, satu-satunya hal yang paling gue benci dari kematian adalah dia menghilangkan kebiasaan. Kematian tidak hanya memisahkan raga orang yang satu dengan yang lain, tapi memutus kebiasaan begitu saja. Dan itu adalah sesuatu yang siapapun tahu rasanya pasti nggak enak. Tetapi, 'Bapak' dalam Sabtu Bersama Bapak, berusaha tetap 'hadir' dan dekat dengan keluarganya meski kematian telah memisahkan raga mereka. Si Bapak tetap mengajarkan, membimbing, memberikan petuah-petuah, kepada istri dan anak-anaknya. Sesuatu yang sudah disiapkan dan direncanakan dengan matang, karena dia tahu, penyakit yang menggerogotinya membuat dia tak bisa hidup lama bahagia bersama keluarganya.

Banyak petuah-petuah si Bapak dalam Sabtu Bersama Bapak yang bikin hati ngilu bacanya. Tapi dari semuanya, yang paling membekas dan jadi pikiran gue adalah petuah tentang menikah. Apa yang Bapak sampaikan, adalah apa yang lantas membuat gue bersyukur karena mempunyai calon suami seperti Ayank. Seseorang yang merencanakan semuanya dengan baik, tentang kehidupan bersama kelak. Karena menikah adalah tentang kesiapan lahir dan batin, tidak bisa salah satu saja.

Ketika seorang lelaki meminta wanita menikahinya, maka saat itu juga dia meminta si wanita memindahkan baktinya dari ayah kepada suami. Lalu apa yang lelaki itu berikan sebagai gantinya? Bukan hanya sekedar janji akan melindungi, tetapi pembuktian melindungi dengan punya atap untuk berteduh. Gak harus besar dan mewah, tetapi layak. Kalau belum mampu beli, minimal mampu menyewakan. Bukan hanya sekedar janji akan selalu mencukupi, tetapi membuktikan dengan punya penghasilan yang bisa menghidupi istri dengan layak, tanpa perlu berlebihan.

Karena menikah itu besar tanggung jawabnya. Istri yang baik memang tidak akan menolak diajak hidup melarat. Tetapi... Suami yang baik itu, tidak akan pernah tega mengajak istrinya untuk hidup melarat.

Kemudian ada satu petuah Bapak yang juga membekas di hati gue. Bahwa prestasi akademik memang bukan segalanya, tetapi mampu membukakan lebih banyak pintu untuk menunjukkan kualitas kita lainnya, misalnya attitude yang baik. Perusahaan sudah akan langsung membuang lamaran kerja kita kalau prestasi akademik kita buruk, lalu attitude yang baik itu tidak akan sempat mereka lihat. Jadi, jangan sia-siakan waktu belajar. Sekolah yang baik, kuliah dengan benar. Karena nilai-nilai yang baik tidak akan pernah merugikan.

Dan gue sudah membuktikannya. Pasca kuliah dan dalam masa mencari kerja, gue ikut banyak job fair. Selalu gue baca persyaratan yang diwajibkan oleh perusahaan-perusahaan tersebut adalah IPK diatas 3. Maka, sebagus apapun attitude yang kita miliki, dengan IPK dibawah 3, kita tentu nggak akan bisa ikut seleksi itu. Punnn, IPK udah diatas 3, kalau attitude nggak baik, maka kita tetap tidak akan bisa lolos seleksi. Jadi kesimpulannya, prestasi akademik dan attitude adalah dua hal yang saling berkaitan satu sama lain. Bukan hal yang harus dipilih salah satu, melainkan berusahalah dengan maksimal untuk keduanya.

Satu quote lain yang membuat gue tersenyum adalah, "Laki dan wanita yang baik itu nggak bikin pasangannya cemburu, tapi laki dan wanita yang baik itu bikin orang lain cemburu sama pasangannya"

Sabtu Bersama Bapak adalah novel yang penuh dengan pembelajaran. Pembelajaran menjadi seorang anak, seorang Bapak, seorang Ibu, Seorang istri, seorang suami, seorang nenek. Banyak hal yang kemudian akan membuat ngilu hati dan bikin pengen nangis. Tapi khas-nya kang Adhit banget adalah catatan kaki-catatan kaki garing dan nggak penting dan selaluuu bikin senyum-senyum geli. Bikin yang tadinya lagi sendu, jadi ngerasa geli sendiri. Plus beberapa adegan atau percakapan absurd ditengah percakapan serius juga bikin gue senyum-senyum pas baca. Mungkin secara nggak langsung, Kang Adhit mau ngasih tau pembaca, bahwa sesulit apapun hidup, akan selalu ada hal yang membuat kita masih bisa tersenyum :p

Bagian tentang Bu Itje melawan penyakitnya adalah bagian paling nggak pengen gue baca karena membuat gue ketakutan setengah mati. Gue benci kanker. Dia mengacaukan segalanya. Bukan uang yang gue bicarakan, tapi kebahagiaan.

Satu sampe sepuluh, sembilan koma delapan buat buku ini. Gue suka cara bercerita yang nggak biasa, banyak part-part tapi nggak bikin bingung. Gue suka warna sampul dan gambarnya yang sederhana dan terkesan senduu. Gue suka catatan kaki ala kang Adhit. Dan gue percaya kalian pun akan menyukainya :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Blog Design ByWulansari