Aku
memperhatikan wanita manis yang sedang tertidur pulas di sebelahku ini. Namanya
Aya. Soraya. Dan dia kekasihku.
Keteguhan
hatinya dalam menungguku, patut aku acungi empat jempol. Dua tahun tanpa jeda,
dan tanpa putus asa. Meski berulang kali aku menguji ketahanannya dengan
berbagai macam cara mengacuhkannya, tapi dia tetap saja kekeuh. Berulang kali
aku mengabaikan perhatian kecil darinya, bukannya menyerah, dia malah menambah
porsi perhatian itu lebih besar kepadaku.
Orang bilang
Aya merendahkan harga dirinya sebagai wanita. Wanita semestinya dikejar, bukan
mengejar. Aya hanya tersenyum menanggapinya. Dia tak pernah peduli. Dia bahkan
tak peduli waktu beberapa orang mengejeknya ganjen, karena usahanya yang begitu
maksimal dalam mendekatiku. Ah, kalau Aya tak melakukan usaha sekeras itu, aku
belum tentu akan luluh.
Aku mencium
lembut jidatnya. Dia tak bergerak.
Bahkan
sekarang, setelah akhirnya kami resmi pacaran, lagi-lagi kekuatan hatinya harus
aku acungi jempol. Entah berapa banyak wanita diluar sana yang mengejek dan
mengganggu hidupnya. Entah berapa banyak wanita yang kemudian bersikap tak
bersahabat padanya hanya karena dia menyandang status sebagai kekasihku. Ah,
iya. Aku beritahu ya... Aku ini lelaki idaman wanita, jadi jangan heran kalo
diluar sana ada banyak yang mengantre untuk menjadi kekasihku. Haha.
Tapi
pilihanku sudah jatuh pada Aya. Karena yang aku cari bukanlah sekedar wanita
yang bisa dipacari. Tetapi... aku mencari wanita yang bisa kujadikan calon
istri. Sudah bukan masanya lagi, diumur segini, masih saja sibuk bergonta-ganti
kekasih.
Jadi kenapa
Aya? Kenapa akhirnya pilihanku jatuh pada Aya sementara diluar sana ada begitu
banyak wanita yang mengantre dan menginginkan posisi yang sama? Aya yang bukan
anggota gank ngetop dikampus. Aya
yang sederhana. Aya yang nggak bisa masak. Aya yang manis tapi tidak pernah
berusaha menonjolkan kemanisannya itu. Aya yang biasa-biasa saja, kata
sahabatku.
Tapi Aya
punya segalanya yang lelaki butuhkan dalam sosok istri. Aya perhatian. Aya
penurut, tak sekalipun dia membangkang ucapanku. Aya pintar, pengetahuannya
luas, kami bisa berbicara banyak hal berjam-jam dan berdebat panjang tetang
suatu topik. Aya yang pengalah, mungkin karena dia anak tua jadi sudah terbiasa
mengalah dengan adik-adiknya. Aya yang bisa langsung dekat dengan tiga
keponakanku bahkan saat pertama kali dia bertemu mereka. Dan satu hal yang
pasti, Aya menyayangiku dan dia selalu mendiskusikan apapun padaku sebelum
akhirnya mengambil keputusan.
Aku mengelus
pelan rambutnya. Dia masih tertidur pulas. Perjalanan yang normalnya hanya enam
jam itu kami habiskan nyaris 13 jam karena macet. Aya pasti capek banget. Aku
tau Aya berharap bisa langsung merebahkan badannya di kasur begitu travel yang
kami tumpangi berhenti tepat didepan gerbang rumahku. Tapi dia menahan lelahnya
dan masih menyisakan hingga dua jam untuk mengobrol dengan mamahku.
Ketika
akhirnya mamah menyuruku mengantarkan Aya kekamar untuk istirahat pun, si kecil
Akbar langsung mendekatinya dan merengek minta dibacakan dongeng. Ah, ya...
Satu lagi yang aku kagumi dari Aya. Dia pintar mendongeng. Anak kecil manapun
akan duduk diam dan terpesona mendengarkan dia berdongeng. Jangankan anak
kecil, aku pun begitu. Aku sudah melarang dan mengatakan pada Akbar bahwa Tante
Aya capek, mau istirahat, baca dongengnya bisa besok-besok. Tapi Akbar tetap
merengek. Dan Aya nggak tega melihatnya. Meski capek, akhirnya Aya mengajak
Akbar masuk kekamarnya dan membacakan beberapa dongeng hingga Akbar tertidur.
Barulah kemudian Aya menyusul tidur.
Aya memang
punya agenda rutin berkunjung kerumahku setiap sebulan sekali. Menginap. Dan
mendekatkan diri dengan keluargaku. Mamah yang meminta. Aku tau sebenarnya Aya
segan. Tapi sifat supelnya membuat dia membaur dengan cepat dalam keluargaku.
Seperti orang yang sudah kenal bertahun-tahun lamanya. Aya memang selalu tau
caranya mencairkan suasana. Pengetahuannya yang luas akan banyak hal membuat
dia ‘nyambung’ untuk mengobrol dengan mamah, papah, dan kakak-kakakku dalam
topik apapun.
Aku masih
mengelus pelan rambutnya. Aya nampak jutaan kali lipat lebih cantik saat
tertidur. Wajahnya yang biasanya tersapu make-up minimalis itu kini polos tanpa
make-up. Gemas. Sekali lagi kucium jidatnya. Aya masih tak bergerak. Dia
nyenyak sekali.
“Thir?” terdengar
suara berat keibuan mengejutkanku. Aku menoleh kearah pintu dan mendapati mamah
berdiri disana menatapku.
“Iya?”
“Kamu belum
tidur?” tanya mamah, berjalan masuk dan mendekat kearahku.
Aku
menggeleng. “Masih kangen sama Aya. Mau jagain dia tidur aja...”
Mamah
tersenyum kecil. “Masih kangen? Padahal disana ketemu tiap hari. Mestinya mamah
yang masih kangen sama dia.”
Aku tertawa.
“Kamu
baik-baik ya sama dia...” kata Mamah pelan, tapi aku mendengarnya. Aku menatap
mamah meminta penjelasan dari kalimatnya tadi. Mamah balas menatapku sambil
tersenyum. “Mamah mau dia jadi anak mamah...” lanjut mamah.
Aku tersenyum
lebar. Aku tau kemana arah omongan mamah. “Pasti, Mah. Pasti. Mamah jangan
khawatir...”
“Jangan
kelewat manja, nanti Aya capek ngeladenin kamu...” Mamah duduk disebelahku dan
ikut menatap Aya yang nampak begitu pulas.
Aku tersenyum
kecil.
“Kuliahnya
buruan di selesain, biar bisa cepet cari kerja terus ngelamar Aya...”
Aku masih
tersenyum. Masih menatap Aya yang tertidur.
“Nanti kalo
kelamaan, Aya nya keburu dilamar orang lain loh...” Mamah menjawil hidungku.
Aku tertawa.
“Pokoknya
kamu baik-baik sama dia, ya?” Mamah menggenggam tanganku. “Janji?” kata Mamah
melanjutkan.
Aku tersenyum,
menghela napas, dan mengangguk mantap. “Mamah doain aja pokoknya, ya!”
Mamah balas
tersenyum. “Ya udah, Mamah tidur dulu. Kamu jangan tidur malem-malem. Itu si
Akbar digendong terus anter kekamarnya, ya...”
Aku
mengangguk. Mamah bangkit dari duduknya dan berjalan keluar kamar.
Sepeninggalan Mamah, kupandangi sekali lagi Aya yang sedang tertidur pulas.
“Jangan lelah
meladeni aku yang manja ya, sayang... Jangan lelah menunggu aku...” Aku berbisik pelan sambil mengelus rambutnya penuh
sayang.
Ayaku masih
tak bergerak. Masih pulas dalam tidurnya. Aku beranjak dari sisinya, menuju
Akbar, menggendong balita itu dan bergerak keluar dari kamar Aya.
“Belum saatnya tidur bareng, aku pindah
kekamarku dulu, ya, sayang...” Batinku, tersenyum geli, dan melangkah
meninggalkan kamar Aya.
------
Another Story of Fathir and Soraya #draft
Tidak ada komentar:
Posting Komentar