Aku berjalan pelan menyusuri deretan rak-rak berisi buku. Membaca satu per satu judul buku yang tersusun rapi di rak berlabelkan new-arrival itu. Ada puluhan judul dengan cover menarik.
Aku menghela nafas, berusaha menentukan pilihan. Buku mana yang beruntung aku pilih dan aku bawa pulang hari ini.
Aku tersenyum kecil. Aku tidak pernah keluar dari toko buku dengan tangan kosong. Mesti ada aja buku yang dibeli, walau hanya satu. Aku bisa saja melewatkan diskonan baju, sepatu, dan sebagainya. Tapi tidak untuk diskonan buku. Makanya, kalo lagi bokek banget, aku memilih menghindar dari toko buku.
Mataku masih sibuk membaca satu per satu judul buku. Sesekali meraihnya dan membaca sinopsis dibelakangnya. Berulang kali begitu.
"Beli apa, sayang?" Tanya suara berat tepat ditelingaku.
Aku tersentak, sedikit kaget. Menggerakkan badanku menoleh kearah sumber suara. Fathir berditi tepat dibelakangku, dengan senyum mataharinya yang menawan. Senyum yang melelehkan.
"Nggak tau nih. Masih bingung..." aku menjawab pelan, menyilangkan kedua tanganku didepan dada. "Kamu beli apa?" Tanyaku.
Fathir mengacungkan beberapa komik ditangannya. Sama sepertiku, Fathir juga gila baca. Tapi kalo ke toko buku, dia lebih sering beli komik. Urusan novel sih biasanya dia meminjam dariku, genre bacaan kami sama. Sesekali aja dia beli novel, kalo udah pengen baca banget dan aku belum beli. Dan itu amat sangat jarang terjadi. Karena aku up-to-date untuk urusan novel baru.
"Eh ini buku rara temen kamu itu, kan?" Fathir meraih sebuah buku bersampul pink lembut.
Aku melirik sekilas kemudian mengangguk. "Aku udah baca, dikirimin sama rara kemaren. Ada kok dikostan. Kamu mau baca?" Tanyaku.
"Iya nanti besok-besok..." jawab Fathir sekenanya.
Aku manggut-manggut. Tanganku kembali meraih sebuah buku yang cukup tebal. Membaca sekilas judulnya. Lalu membalik kebagian belakang, membaca sinopsisnya. Lumayan menarik...
"Sayang..." Fathir memanggilku lagi. Lembut. Jarak kami sejengkal. Aku bahkan bisa merasakan hembusan nafasnya ditengkukku.
"Hm..." aku bergumam.
Fathir mencuri cium atas kepalaku. Aku tersentak kaget dan refleks mencubit perutnya. Fathir terkekeh geli.
"Public display of Affection kamu!" Aku melotot kearahnya.
Fathir masih terkekeh. aku hujani dia dengan cubitan-cubitan kecil.
"Iya.. Iya.. Ampun... Hahahaha..."
Aku mendelik.
"Sayang..." Fathir memanggil lagi.
"Apa sayaaaang?"
"Kamu kapan dong bikin novel lagi?" Fathir bertanya tiba-tiba.
Aku kaget mendengar pertanyaannya. Ah ya, sejak novel pertamaku terbit dan dipasarkan, aku memang belum menulis lagi. Ada banyak draft yang berhenti ditengah jalan dan tidak terselesaikan. Aku juga lebih sering menulis cerita pendek berupa potongan-potongan adegan ketimbang satu cerita utuh.
"Akhir-akhir ini malah kamu udah jarang nulis cerpen, kan ya??" Fathir bertanya lagi. Padahal pertanyaan pertamanya pun belum aku jawab.
Aku menghela nafas berat. Bukannya nggak mau, hanya saja...
"Iyaa.. kemaren-kemaren kan lagi ribet skripsi, yank. Aku fokus banget sama urusan skripsi. Nulis cerpen aja nggak nyempet apalagi mau nyelesain satu novel.." aku memaksakan senyum.
"Aku kangen dong baca tulisan kamu..." Fathir mengelus rambutku.
Fathir adalah first reader setiap tulisanku. Setiap kali selesai menulis, sebelum di publish untuk dibaca umum, aku pasti mengirimkan draftnya ke email Fathir untuk dia baca.
"Iya. Nanti kalo aku udah mulai nulis lagi, aku kirim-kirim ke kamu lagi deh buat dibaca.." aku mengelus pipinya sayang, tersenyum.
"Kamu mulai nulis-nulis lagi dong... Kan skripsinya udah kelar..."
Aku tersenyum. Sama seperti apa yang teman-temanku lainnya bilang. Sekarang aku memang sedang menanggur. Tidak ada kegiatan. Tapi entah kenapa ide belum juga datang.
"Aku seneng deh kalo baca testimonial orang di blog, fesbuk, atau akun twitter kamu yang bilang mereka suka sama tulisan kamu..." Fathir melanjutkan. "Banggaaaa banget rasanya..."
Aku tertawa kecil.
"Meski ada segelintir yang bilang tulisan kamu nggak mutu dan cuma sampah, toh ada banyak lainnya yang suka dan malah nunggu-nunggu tulisan kamu. Aku salah satunya.."
"Ya kamu kan pacar akuuuuu..." aku tertawa.
"Dulu? waktu kita belum pacaran juga aku udah ngefans sama tulisan-tulisan kamu. Huuu..."
"Hmm.. itu sih karena kamu emang udah naksir aku makanya kamu merasa apa aja yang aku lakuin adalah bagus..."
Fathir menoyor pelan pundakku. "PD pisan!".
Aku tertawa.
"Jadi. Kapan dong mulai nulis lagi?" Tanya Fathir, sedikit mendesak.
"Nanti..." jawabku singkat. Tanganku meraih buku tebal yang tadi kubaca sinopsisnya. Melirik label harga dibagian bawah dan cukup terkejut karena harganya lumayan mahal. Wajar sih ya. Tebel sih.
"Nanti kapan?"
"Kayaknya aku beli satu ini aja deh, yank..." aku mengacungkan buku tebal itu kearah Fathir, berusaha mengalihkan pembicaraan.
Fathir mengambil alih buku tebal itu dari tanganku dan menggabungkan dengan tumpukan komik yang akan dibelinya.
"Eh biar aku bayar sendiri aja..." kataku berusaha meraih kembali buku tebal itu dari tangan Fathir.
Fathir menggeleng cepat. "Biar aku aja. Kan baru dapet kiriman"
Aku tertawa. Fathir ikut tertawa. Kami berjalan beriringan menuju kasir dan masuk dalam antrian.
"Sayang..." Fathir memanggilku lagi. Dia masih berdiri dibelakangku. Aku tidak menjawab.
"Aku selalu bangga kok sama kamu. Sekalipun kamu vakum nulisnya..." Fathir melanjutkan.
Aku masih diam. Menatap lurus kearah kasir yang sedang menjalankan tugasnya.
"Apapun yang kamu lakukan, kamu selalu bikin aku bangga... Jadi jangan anggap omongan aku tadi seolah-olah aku cuma bangga kalo kamu penulis ya, sayang..."
Sesuatu menghangat disudut mataku. Sekuat tenaga kutahan agar tidak ada buliran bening yang jatuh dari sana.
"Aku bangga punya kamu, sayang. Selalu... Kamu hebat... Aku sayang sama kamu..." Fathir berbisik lembut tepat ditelingaku. Membuat sekujur tubuhku merinding.
Aku menoleh kearah kekasihku itu. Menatap luru kedalam dua bola matanya dan menemukan ketulusan disana. Dadaku menghangat. Tuhan, aku beruntung punya Fathir...
"Makasih ya, sayang. Nanti aku mulai nulis lagi deh biar kamu bangganya berlipat-lipat sama aku..."
Fathir tersenyum. Senyum matahari andalannya. Aku nyaris meleleh.
"Dan Aku juga sayang sama kamu, yank. Sayaaaaang banget...."
Fathir membuat gerakan hendak menciumku. Aku langsung menahan dadanya agar jangan bergerak semkin mendekat.
"Public display of Affection!!!!" Aku berseru. Kemudian terkekeh. Fathir ikut tertawa.
Antrian semakin memendek. Setelah kasir selesai melayani satu orang didepan ini, maka tiba giliran aku dan Fathir.
Aku melirik Fathir sekilas dan tersenyum. Lebih dari sekedar bangga, aku beruntung punya Fathir.
***
Another story of Fathir - Soraya #draft
Published with Blogger-droid v1.7.4
*gak mau banyak komentar, cuma nyengir lebar penuh arti aja* bwihihihihi ...
BalasHapusHhahahahaa *tutup muka malu*
BalasHapusMakasih udh baca, steph! :)